Wednesday 13 May 2009

Safari 109

Bus dengan muatan maksimum 50 kursi itu lamban melaju. Beberapa kali tergopoh menyelinap, lalu di kali berikutnya terhenti tiba-tiba.Dan segera aku akan mendengar seperti cacian-cacian memetak telinga, dari mobil-mobil itu. Seperti saat mobil berhiaskan bunga meluncur di waktu siang, sore, malam, bahkan dini hari. Tidak satupun yang mendengar menggerutu, bahkan beberapa akan segera menyambut dengan bunyi serupa siul. Bunyi yang tak lebih indah dari cericau burung Manyar itu, mencuat-bersahut dari mulut-mulut perempuan Mesir: seperti bunyi "la", atau "lu" yang terulang tanpa jeda sepanjang nafas yang dihirupnya. Sontak mobil pengiring pengantin itu akan bersorak dengan deru dan klason-klaksonnya.

2 jam kemudian, bus akan lebih lamban, tersendat-sendat; terminal Tahrir. Dan beberapa menit kemudian saya pun tidak lagi sabar untuk terus duduk menadah peluh. Harus segera turun!
Aku sengaja mendatangi tempat yang tidak lagi asing, bagi siapa pun; “Wikalah”. Saya akan lebih lega untuk menyebut dengan 'kawasan'. Setidaknya akan lebih aman dari segala tuntutan akan batasan-batasan layaknya pada setiap apa yang disebut ‘tempat’—Sementara semisal pedagang sepatu, kaos, telah bermunculan menebar sedari terminal Tahrir.

"Wikalah", kawasan yang tidak asing bagi sesiapa. Bagi konsumen, murah ialah pilihan. Dan 'bebas memilih' pun pilihan lain yang tidak kalah utama. Hukum jual-beli melegitimasi kebebasan ini. Dengan demikian prinsip ideal konsumen akan tergapai: barang bagus, dengan nilai tukar semurah mungkin. Di sinilah "kebetulan-kebetulan" menjadi tuhan; dengan sedikit kejelian, dewi fortuna menjadi penentu nasib baik.

"Wikalah" ialah akar dari sekian muasal dialektika. Bayangkan: sekian konsumen yang datang silih berganti itu, pada tempat dan di bidang lain, akan menjadi produsen. Sementara ratusan produsen pun akan mengalami hal sama, pada tempat, bidang, dan waktu lain. Kini tiap per-seorang telah memiliki dua prinsip yang bertentangan samasekali.Tarik ulur dua prinsip dalam diri masing-masing mungkin terjadi sewaktu-waktu, membenihkan kekhawatiran, atau kelicikan-kelicikan. Dan akan lebih kuat, serta semakin nyata lagi ketika antar individu tengah bertemu: kongkalikong, negoisasi, hingga terbentuk kesepakatan yang murni berdasar atas 'tarik-ulur keuntungan'. Bukankah prinsip ekonomi ialah "mendapat keuntungan sebesar-besarnya, dengan modal sekecil-kecilnya"?! Jangan sebut-sebut moral dalam dunia ekonomi; kesopanan, unggah-ungguh, saling menghargai. Karena semua itu tidak ada dalam kamus pakar ekonomi. Dan dimana, kapan, pun pada bidang apa saja, profesionalisme memiliki satu arti: berlaku sesuai prinsip, lalu menggapai tujuan secara sempurna dalam batas waktu yang terlah penuh perhitungan. Sementara moral itu; kesopanan itu; saling menghargai itu; unggah-ungguh itu; Semua telah mengalami reduktifikasi-reduktifikasi makna, dan lalu menjadi alat manipulasi.

Di tengah hiruk-pikuk orang-orang pasar itu, saya berfikir: Sungguhpun prinsip tersebut kemudian menjadi teori, kemudian meradang dalam segala segmen kehidupan, maka yang menjadi korban utama ialah kualitas. Kualitas atau mutu ini ialah obyek ideal bagi konsumen, pada waktu yang sama ia adalah nadir bagi produsen/distributor. Muncullah sebuah abstraksi baru dalam benakku: dua, tiga, empat, hingga sekian belah pedang bermata tajam tengah bergesek percikkan api. Bukan perang idealisme—meski mirip, ideologi, tapi perang kehidupan. Maka, pasar menjadi ladang paling dinamis, produktif, hingga mampu mencipta tuhan-tuhan baru: tuhan ego, tuhan keberuntungan, tuhan emosi, tuhan gelora, dll. Seandainya saya seekor Khimar yang tak memiliki malu, bolehlah saya tersungkur saat teringat bahwa dimana-mana pasar telah subur: pasar pendidikan, politik, agama, hingga pasar manusia.

Pegal kaki melangkah menjajagi pasar itu, “wikalah” itu, dan bahkan saya telah menjadi satu dari ratusan petarung-petarung itu. Tidak perempuan, tidak laki-laki, tua-muda, semuanya seolah yang paling kekar: dengan mulut yang seumpama retoris handal, otak cerdik seolah politikus dunia, atau bujuk rayu seperti penari ganjen di jalan-jalan dan gang remang.

Pasar menuntut atas adanya sikap. Semakin bertambahnya kebutuhan, kesadaran akan penting adanya solidaritas, kebersamaan, pun semestinya meningkat: bahwa manusia bukanlah Tuhan yang terlepas dalam kesendirian-Nya, dan senantiasa Maha. Namun begitu, kualitas atau mutu patut terabai dari anasir-nasir subyektif; baik produsen, atau pun konsumen. Sehingga ia tidak oleng oleh karena kepentingan-kepentingan. Maka, selain berpotensi mencipta Tuhan, pasar pun mampu memberikan justifikasi atas ke-Esa-an Tuhan.

Senja menggenang di langit barat iringi matahari yang terburu ingin tenggelam. Seakan sang Surya benar-benar telah bosan dengan segala pertarungan-pertarungan. Maka, saya mencoba bercerita tentang keunikan: di pasar itu, ya, “Wikalah” itu, dari ratusan hingga ribuan petarung, mereka memiliki keseragaman nama: Ahmad, atau Muhamad. Dua nama lain; Musthafa, Abdurrahman, sangatlah jarang.
Bus bernomor 109 datang, aku segera naik untuk kembali ke H-10, tempat dimana aku tinggal. Tak lupa aku berdoa penuh cemas: “Tentang 2 nama tersebut, semoga sang Surya hanya bertanya pada anak-anak Indonesia-Mesir. Sehingga esok ia mau bersinar, meski hanya untuk membuktikan tentang keunikan itu..”

1 Comentário:

4Hamdalah Nggênjréng Community said...

dari saya berubah aku, dari aku berubah saya. Sudah lama tidak baca karya ini.

Post a Comment

Followers

Catatan Gila © 2008 Template by Dicas Blogger.

TOPO