Sunday 22 March 2009

Karya

Aku berdiri di atas sebongkah batu hitam, lapuk. Tampak jelas ada lapisan yang mengelupas, seperti kulit pohon jambu yang kering, mengeriput, dan esok ia halus seakan kulit bayi. Tidak sendiri, dan aku hanya mampu mengukur sebilah batu yang ada di bawah telapak kaki. Lebih satu senti dari itu, toh karena memang alas kaki yang kukenakan terlalu besar. Tepat di depan mata; tengkuk yang telah menghitam, basah, dan menawarkan bau yang sungguh tidak enak. Kanan, kiri, hanya ada ketiak-ketiak yang tentu lebih busuk baunya. Jangan tawarkan aku ke arah belakang, karena tentu akan ada umpatan yang sama. Hanya saja rambut kepala bagian belakang selalu kubiarkan memanjang.

Ada lirih denting membias dan menusuk gendang telinga, seperti ketukan tapi tak berjeda samasekali. Bukan lagu, tidak ada huruf yang kudengar jelas, bukan nyanyian. Kudengarkan betul, hampir jelas, tapi..ah, suara itu kembali samar; mungkin tercerap keringat busuk itu. Atau nada yang kudengar samar tengah membuatku galau, penasaran?
Aku tidak ingin menebak, atau apapun namanya, yang jelas semacam menarik masa depan dan ‘yang akan terjadi’ menuju ke masa sekarang, dan terjadi. Bukankah sederhana? Bayangkan kamu sedang menimang seonggok bayi, lalu jatuhkan, atau terserah, yang jelas lakukan apa yang mungkin membuat puas. Maka, tidak banyak pilihan; hanyut oleh senyum imut si bayi, atau kamu akan lebur dalam kepuasan itu. Dan begitu pula dengan tebakan.

Kini aku setengah tidak yakin, bimbang, penasaran tak lekas hempas. Seperti pedih, atau rasa berbunga oleh sebuah tebakan. Tidak, sekarang ini aku benar-benar merasakan debar, ya, dan bukan dalam ‘penantian’. Aku benar sedang mengalami, dan tidak ingin melewatkan. The universe will never look the same again, kata Einstein. Dan akan kucatat segalanya dalam otak: tengkuk berkeringat nan bau, aroma ketiak yang telah lebih dari sekedar busuk, dan bunyi samar itu. Bukan dengan angan yang muluk, melukiskan cerita untuk anak-cucu misalnya. Sepele; meyakinkan diri bahwa aku pernah ‘ada’, eksis.

Di atas sebongkah batu hitam, kampung ini bukan layaknya sekelompok ikan kirana yang beringas. Perlahan terus mengalir, setapak demi setapak, dan suara itu kembali muncul samar. Penasaran semakin kuat, tapi bau keringat membuatku ingin muntah. Sesekali aku harus bertanya; kenapa?. Di kali yang lain aku mengadu dan memohon. Lalu aku berfikir, tentang ‘ada’, kemudian tentang ‘asal’.

Kehidupan adalah ekspresi Sang Pencipta

Ekspresi, apakah semacam rona memerah yang timbul saat marah atau malu? Atau dalam gerak meringkuk, lucu, menggemaskan, atau bagaimanapun, seperti kucing betina dewasa dalam timang si empunya? Apa yang ditulis dalam ‘sejarah “wujud’ oleh al-Asymawi memberiku sebuah imajinasi; ‘kehidupan’ sebagai ekspresi yang wujud, mencuat dari muara kehendak Sang Pencipta. Ya, kehendak dan kuasa untuk mencipta. Maka, kehidupan—sebagai ekspresi—‘ada’; tercipta.

Bunyi muncul lebih jelas, hampir seperti simpul suara, namun belum lagi aku mampu mendikte huruf dan nadanya. Sekarang aku perlu untuk tengok kanan-kiri, mencari celah, menelusup dalam himpit, menyela, tapi mual tak tertahan. Hueek..! akhirnya aku muntahkan. Entah berapa pasang mata yang memicing, mengutukku, bukan tidak peduli, namun aku betul menikmati rona wajah mereka; marah, jijik, sinis, bahkan ada yang memukul, meludah, pun memegang penuh kasih, tak ubahnya kucing betina dewasa itu; lucu dan menggemaskan tatkala dalam timangan. Ingat, tatkala; semacam isyarat ke-se-mu-an, ada limitarisasi ruang dan waktu. Tidak beda dengan ekspresi mereka yang timbul oleh kehendak; baik dengan alasan, atau tanpa sebab sekalipun.

Al-asymawi mengerti betul tentang kehidupan; ekspresi Sang Pencipta. Perlu digaris bawahi kata ‘mengerti’, ini bukan hanya sebuah capaian-capaian agnostik, bukan sekedar ketundukan materialis-empiris. Namun ia bangkit, bergerak, merangkai, lalu bernafas dalam jeda, dan akan berlanjut. Putra negeri Seribu Menara ini faham betul akan adanya diferensiasi ‘lintas’ antara ‘Yang abadi’ dan batas kuasa ‘ekspresi’ yang merupakan bentuk kata verba finit. Dan ia tidak perlu jatuh terbungkam pada jurang ‘perebutan’ otoritas.

Eksistensi adalah ekspresi kehidupan
Kreasi adalah ekspresi eksistensi

Di sini terlihat tuntutan adanya gerak, upaya, karena eksistensi bukanlah partikel yang diam, mati. Ia memiliki ruang dan batas efloresentif-nya sendiri. Seperti tumbuhan, kupu-kupu, embrio, dan kucing betina itu.
Sang Pen-‘cipta’, ‘kreasi’, Ia begitu lihai dalam memilih diksi, tidak terjerembab dalam problema sintagmatis, meski ada sedikit singkope. Namun, ia lebih terlihat seakan seorang ahli logika yang tengah mansyuk dalam hitungan matematis sebuah preposisi.

Aku berdiri di atas sebongkah batu hitam, lapuk. Bukan sejenis batu ajaib seperti yang telah merenggut masa kecil Ponari, bukan batu apung yang mengambang dan ragu, bukan pula batu besar layaknya dalam cerita Yunani Kuno; Shisipus. Kini semuanya duduk bersila, membentuk semacam lingkaran nan lebar, dan bunyi itu telah terberai dalam huruf-huruf, lalu terajut dalam suara; seperti denting yang sangat kuat, atau lonceng wahyu yang sungguh menggetarkan. Batu ini seumpama padang Mahsyar, tempat dimana masing-masing menanti ucap bijak Sang Kuasa dan Maha Adil. Ia bukan lagi bagian dari semesta yang menjadi ruang kehidupan, karena masing-masing tengah limbung dan tak mampu lagi berekspresi.[]


Saturday 21 March 2009

Perempuan, titik!

Hari I

“Ceritakan padaku tentang kecantikan,”
“Tidak”
“kenapa?”
“Karena kecantikan serupa pamflet,”
“Bangsat!”
“Kenapa kau murka?”
“Karena aku perempuan.”

Brraak..!!

Hari II

“Katakan padaku perihal kelembutan,”

Aku diam.

“Katakan! kenapa diam?”
“Karena kau perempuan!”

Kamu tak lagi mendesak. Di depan mataku ada dua puting kecoklatan. Sama seperti milikku, namun dadamu lebih besar dan membusung. Liontin tergantung manis di atas kulit putih, dan lamis. Sorot matamu tajam, namun terburu teredam oleh bulu mata yang tebal dan lentik. Dan, ah, kamu sungguh tidak pernah memperhatikan rambut yang bercukul di teras kemaluanmu sendiri.

“Kau pertaruhkan semua ini hanya untuk mendengar jawabanku?”
“Untuk jawaban! Hanya itu!”
“Ya, untuk jawaban! Tapi kenapa harus telanjang? Bukankah kamu selalu merawatnya, untuk kemudian kamu banggakan?”
“Bangsat! Jangan berbesar hati, aku telanjang hanya untuk memecah anggapanmu,” jawabmu ketus.
“Tapi aku laki-laki!”
“Ah, kamu sungguh sama seperti lelaki lain. Impoten!”
“Anjing! Kamu menuduhku?!”
“Kau merasa sebagai lelaki, seketika saat ada perempuan!”
“Tentu, karena aku lelaki. Normal bukan?!”
“Normal katamu?!”

Cuih..!! Kamu meludah.

Limbung. Kamu benar-benar mempertanyakan kelelakian. Aku tersudut, dan sulit menepis. Wajahmu cengar, menyala penuh emosi. Tidak! Kamu tengah mengolok dan mencaci dengan bingar. Kamu senang. Kau cipta seruang penjara nan pengap, meludahi, bahkan kencing tepat di mukaku: “Penindas! Pencari kepuasan!” cecarmu. Lalu kamu beranjak dengan membawa kepuasan tak terkira.

Hari III

“Apalagi yang hendak kau tanyakan?”
“Tidak”
“Lalu?”
“Kamu belum lagi menjawab pertanyaan-pertanyaanku,”
“Kenapa harus aku?”
“Karena kamu lelaki, dan bukan aib untukku telanjang di depanmu.”
“Saya tidak pernah memintamu telanjang!”
“Ya! Tapi, kamu selalu menyembunyikan jawaban di balik keperempuananku.”
“Oh...jadi, otak kamu sembunyikan di antara lipat selangkangan? Sejak kapan?!”

Kamu tidak langsung menjawab.

“Jangan kau tanyakan itu, aku tidak mungkin menjawab,”
“Malang nian! Kamu benar-benar hidup sebatangkara. Dan nasib burukku adalah tidak sempat memiliki mertua,”
“Kamu tidak perlu mengejekku sejauh itu. Akui saja bahwa kita hidup dalam tatanan moral, dan norma,”

Suaranya redam. Ia lebih seperti belatik betina yang malu, namun menunggu oceh rayu pejantan dalam diam. Sesekali ia berpura mengibaskan ekor, seakan memperlihatkan pantatnya yang sintal.

“Sekarang, jawablah pertanyaan-pertanyaanku itu,”
“Jika saya menjawab dengan jawaban yang sama?”
“Apa? Pamflet maksud kamu?! Lalu kamu anggap aku apa?”
“Perempuan, titik!”
“Ah, kamu sungguh membingungkan!”
“Bukan saya yang membingungkan!”
“Lantas siapa lagi? Kamu memang selalu ingin menang!”

Galau. Kamu benar-benar mendesakku. Kemarin kamu telah menghina kelelakianku. Impoten!, cemoohmu kasar. Bagimu, aku adalah budak nafsu, pemuja muara kenikmatan yang kamu miliki. Entah, mungkin kamu tengah membayangkanku seolah kutu yang suka menelusup di antara rambut kumal, dan bau. Lalu, dengan leluasa menghisap darah, dan puas.

Hari IV

“Katakan padaku perihal ketampanan, dan kejantanan,”
“Tidak!”
“Kau sedang membalasku?”
“Bukan,”
“Lantas?”
“Karena kamu lelaki. Itu saja!”
“Kita pernah sepakat bahwa, kita terlahir di tengah kuasa moral dan norma,”
“Ah, kamu sungguh pengecut!”

Gusar.

“Jangan pikir aku mengharapkanmu telanjang, dan membuktikan bahwa ‘anu’-mu hanya sebatas simbol. Persis seperti gantungan kunci.”

Kamu terkekeh. Aku belingsut.

“Sejak kapan kamu gila?!”
“Sejak moral, norma, dan anggapan, melukiskan imajinasi dan kehendak di atas keperempuananku.”
“Kamu bercita-cita mengganti kelaminmu?”
“Kamu menawarkan untukku menjadi kuas, lalu dengan leluasa melukis di atas kertas putih keperempuanan?”
“Sudah, kita tidak perlu plagiasi terhadap anggapan-anggapan masa lalu itu.”

Kamu tercenung cemas.

“Kamu tidak perlu orasi untuk mencari dalih akan kecantikan dan kelembutanmu. Karena kamu adalah perempuan. Itu saja.”

Seakan belatik betina, kau kibaskan sayap tawarkan kemolekan. Dengan sedikit ragu, kau gerakkan ekor perlihatkan sintal pantat. Dan aku adalah lelaki.


Saturday 14 March 2009

Lembaran I

“...sesekali perlu untukku merindukan seperti; hamparan sawah; padi yang menguning; dan tanah sawah yang bercelah pada musim kemarau. Lingkungan yang telah membesarkanku.”
--Jaka Edan--

Aku tidak membenci saat ia tak pintar menyembunyikan kebohongan. Aku hanya tidak suka dengan segala kepura-puraan. Bahkan ia boleh saja mengambil sikap yang sama: “silahkan!”. Aku puas jika tiba-tiba ia muak dan meragukan semua yang pernah kukatakan. Dengan begitu aku bisa menikmati bola matanya yang membesar, kedua pipinya yang memerah, bibir mungilnya yang seketika berubah: lonjong, manyun, atau mengatup sama sekali. Bukan hanya itu, ia boleh saja jijik lalu melontarkan cacian: boleh jadi kata-kata kotor sekalipun.

Aku lebih nyaman saat harus mengaguminya tanpa bersandar pada naluri kejantanan. “Tentu kamu tidak menyukai lelaki impoten,” pikirku. Dan aku mengenalnya sama seperti perempuan yang lain: perempuan yang tidak pernah menerima pujian dari perempuan lain sebagai sebuah ungkapan kekaguman seutuhnya. Bahkan untuk hal satu ini, perempuan merasa perlu akan adanya persahabatan intim.

Sesekali aku pernah mengatakan pada kawan karib, Bajul namanya, saat ia bertanya tentang perempuan: “ aku lebih menyukai perempuan dengan rambut tergerai, agak panjang, semampai, betis yang tak begitu besar sehingga aku bisa tahu bahwa pinggulnya betul-betul berisi.” Dan di kali yang lain aku juga pernah mengatakan bahwa aku mengagumi perempuan berbibir tipis dan merah. Tidak pernah sama sekali hal ini kukatakan padanya: tentang fisik, tentu perempuan lebih menyukai ungkapan metaforis. Dan dengan kata-kata yang sedikit hiperbolis, bahkan perempuan akan tersudutkan: menampik dan menganggapnya rayuan, atau secara diam-diam mendamba rayuan itu untuk kembali difikirkan. Tentu tidak semua perempuan.

“Kau lebih banyak termenung, apa yang sedang kau fikirkan?”
“Yang jelas bukan memikirkanmu.” Tandasku, lalu tertawa.
“Bangsat!” Bajul tertawa dengan raut sedikit malu. “Bilang saja kalau kamu sedang mengagumi perempuan itu.”
“Ah, siapa lagi? Kapan kamu lihat aku bertemu dengannya?”
“Tidak perlu,” ia mulai memaksa, “melalui apa yang kamu dengar tentangnya, mungkin kamu telah memilikinya dengan utuh.”

“Anjing!” batinku. Kini ia benar-benar sedang mempermainkanku.

“Saya kenal dekat dengannya kok. Kamu cukup mengiyakan, dan tidak terlalu sulit bagiku jika harus..”

Aku tak lebih dari seekor jengkerik malang dalam sangkar yang telah ia bikin. Dengan mudahnya ia kini menggelitik, memancing amarah, mencemooh, dan bahkan dengan riang mengadu perasaan dengan kelelakianku.

“Saya belum berfikir sejauh itu,” aku terpancing, “tentu saya perlu keyakinan, atau kelak mungkin menyesal.”
Ia hanya tersenyum simpul: itu aku ketahui dari desis nafas yang mengiring senyumnya. Teras kost gelap. Sekalipun lampu dinyalakan, pasti saya akan muak melihat mimik wajahnya, atau aku akan berpaling agar tidak pernah melihatnya. Namun begitu, aku mempercayainya. Bahkan lebih dari beberapa pasang telinga yang kaku merias tubuh-tubuh yang tak lagi sadar itu. Memang kekhawatiran muncul kala sesekali kulihat salah satu dari mereka menggeliat. Dan aku langsung mengambil sikap; diam. Saat ini aku benar-benar menikmati kedunguan. Situasi yang mestinya aku benci.

Dini hari semakin sepi. Ia berdiri, melangkah dengan penuh kehati-hatian menuju arah membelakangi: ruang dalam asrama. Sesekali ia perlu melompati deretan tubuh yang telah lelap. Satu detik kemudian, tiada suara, hanya desir udara dini yang menghempas pelan rimbun beringin di depan sana. Hanya beberapa meter dari tempat dimana aku menatap sinis rembulan yang tergantung penuh kesombongan. Langit bening. Gumpalan-gumpalan awan berjalan runtun, tapi penuh keacuhan. Bayangan perempuan itu terus hadir: “ini sebuah kewajaran, atau ujian, atau bahkan ilustrasi setan?” pikiranku galau.

Kini Aku berada di sudut kamar. Duduk bersila menikmati sebatang rokok dengan penuh kekhawatiran. Sekaligus memberikan kenikmatan yang tidak akan kutemu di saat lain: Setiap hisapan memberikan arti kemenangan, lalu kesepuhkan asap dengan penuh bangga, lalu kusembunyikan lagi, ketakutan muncul, lalu sedikit mengikis, kemudian kuhisap lagi. Begitu seterusnya hingga hisapan terakhir. Jam menunjukan pukul 03.00. Bayangan itu kembali datang: wajahnya bersih, gigi yang tertata rapi, alis yang tebal, matanya tajam dengan titik hitam yang pekat, bentuk wajahnya oval. Lebih dari itu, aku tak bisa melihat lagi, kabur. Kemudian aku mulai menuliskan kekaburan-kekaburan itu dan mencoba membentuk diri-nya secara utuh. Tentu dengan mengumpulkan serpihan kata—tentangnya—yang pernah kudengar dari kawan, atau siapapun.

“Tidak tidur kah?”

Aku tidak langsung menjawab. Sisa puntung rokok yang kubidas pada asbak kecil itu masih menyisakan asap, dan bau apek; Lupa tak memberikan sedikit air pada potongan kaleng itu. Aku gugup.

“Saya sudah tidur sedari jam 11.00 tadi. Eh, mana korek apinya?”

Ia ulurkan. Seperti telah ada kesepakatan: korek api sama sekali bukan simbol keangkuhan. Meski selalu memilih yang ber-merk untuk menghindari kecerobohan, atau membuat segan setiap peminjam. Tentu tetap tidak akan sebanding dengan sebatang korek mainan anak gang remang, dimana lahapan api yang pelan dan menimbulkan retakan lirih itu memiliki nilai tukar tinggi. Bahkan di setiap incinya ialah obsesi, asa, birahi, kepuasan. Bayangkan kala mereka harus jongkok, lalu menungging, menyingkap rok perempuan: galau, malu, penasaran, perasaan mereka tercabik oleh gejolak. Kemudian mereka akan melihat ‘segalanya’ dalam durasi yang sama panjang dengan sebatang kayu korek. Pada saat-saat seperti inilah sebatang kayu korek menuai kekudusannya. Maka, tidak menutup kemungkinan mereka menemukan ejakulasinya masing-masing; sebuah kebanggaan dimana kejantanannya terbukti. Lalu, dengan penuh keikhlasan selembar uang ribuan mereka ulurkan.

Beberapa tahun kemudian aku tahu bahwa mereka hanya memiliki ketakutan-ketakutan, kegetiran-kegetiran, kekecewaan. Keinginan, keusilan, dan laku mereka diamati oleh ancaman, perisai negara, undang-undang. Dan pada dasawarsa yang sama, masyarakat pribumi bisa melihat melalui televisi-televisi: keimanan, moralitas, dengan sengaja dibentuk dengan segala yang menakutkan. Melalui film-film, mereka dapat menyaksikan seekor ular raksasa melahap Si sombong; ribuan kalajengking menyengat, dan memenuhi liang kubur Si kikir; bara neraka membakar hangus Si jahil; atau wabah menjijikan menimpa Sang koruptor. “Busuk!” batinku.

“Ada keinginan untuk tidak pulang, toh ini liburan terakhir.”
“Rencana kuliah dimana?” singkatnya dengan nada serius. Sempat kutangkap betapa ia menikmati hisapan rokok, sembari memainkan kepul asap dari mulut.
“Baru sebatas keinginan,”

Kuletakkan pena dan buku Harian, berdiri untuk mengambil sebatang rokok pada saku celana pendek di balik sarung. Kusulut, kemudian sudut ruang berukuran 4x6 meter ini berubah laiknya penuh mistis. Sinar lilin yang telah memadu dengan gumpalan asap melahirkan dua bayang hitam, besar, dan melekat pada dinding yang remang. Tak kalah pengap dengan kamar Pierre, suami Eve, yang dilukiskan oleh Jean-Paul-Sartre dalam kumpulan cerpen bertajuk “Dinding”. Kamu boleh saja menghina, mencerca, mengutuk, dan menasehatiku yang—mungkin—kau anggap tak lagi ingat akan pesan orang tua. Dan aku akan memutar memori, mendengar kembali Bapak yang pernah berkata: “kamu sudah cukup umur, tahu mana yang baik dan mana yang buruk.”. Atau kamu akan menganggapku sedang berada pada alam yang aku miliki sendiri. Dan kamu tidak harus tertawan dalam kebencian-kebencian yang merongrong.

“Aku ada keinginan untuk melanjutkan di universitas ternama, mengambil fakultas Sosial-politik, tapi mungkin 2 tahun mendatang.”

Kutemukan seakan diriku sedang membual, bermain dengan khayal, memikul keinginan dan menaruhnya pada alam imajinasi, tercapai, lalu puas. Sementara aku sadari bahwa ada semacam Aphesia dalam ingatanku. Terlampau sulit bagiku mengingat nama; orang, jalan, atau bahkan bukan hanya itu.

Aku tertawa ringan.

“Kemana dalam 2 tahun itu?”
Aku tidak menjawab, “kamu sendiri, apa rencanamu?”
“Tidak muluk, ujung-ujungnya juga fakultas yang berbau agama,” singkatnya sembari melirik ragu, seakan memberi alasan dalam bahasa isyarat, “ eh iya, bagaimana dengan dia?”

Kawan berdarah Madura dan berpostur tinggi kurus itu beranjak mengambil posisi, terlentang, menutupkan sarung pada muka yang tak sempat cengar. Kebiasaan yang sungguh lucu, namun menjengkelkan: tidur terlentang dengan hanya mengenakan sarung, tak lebih dari itu. Ia tidak sungguh bertanya, tak lebih hanya menyindir. Mungkin hanya ingin menabuh emosiku. “Asu!” tandasku kencang sambil menendangnya. Ia terpingkal sekejap, lalu lelap.

03.45.
Kucoba mengambil celah sempit di antara deretan kawan yang telah pulas, merebah, kedua mata masih nanar, dan pedih. 15 menit, atau kurang lebih 30 menit kemudian akan ada ketukan pintu bertalu. Lalu dalam jeda yang tak lama suara itu akan berubah menjadi irama: entah dengan nada jengkel, marah, atau sayang?. Dan aku akan terbangun sedetik setelah suara itu begitu dekat, seutas penjalin dengan panjang setengan meter itu mengena keras tepat di paha. “Anjrit!!” pekik batinku. Ia tersenyum ramah, lalu melewatiku. Dalam keadaan duduk, kepalaku menunduk, kembali terlelap. Sebentar kemudian, lenggam lantun surat Yâsin terdengar samar: ia telah kembali.

***

Asrama riuh. Terdengar dari kamar mandi, celoteh kawan menimbulkan suara-suara yang sama sekali tidak teratur: intonasi yang kadang melengking keras, kuat, lalu melemah, lirih, dan henyap. Dan dari pusat pemandian pesantren yang berada tepat, dan membujur di samping kiri asrama, terdengar riuh sesak. Liburan tiba.

Aku putuskan untuk pulang.

Tanpa harus menunjukan surat izin, hanya perlu tersenyum ramah sembari sedikit membungkuk memberi salam, kini dengan tenangnya aku telah berada di atas sebuah becak. Melewati pos jaga pintu utama. Menikmati seperti kebebasan. Dinding pembatas yang tinggi itu bukan jejaring jeruji besi yang memenjaraku. Bukan karena saking mudahnya menyelinap: hanya perlu pengalaman sedikit, dan kepura-puraan. Sudah aku tuturkan, bahkan berdiri di atas kursi di halaman pesantren dengan disaksikan ratusan pasang mata lebih aku sukai.

Ah, hamparan tembakau itu, tiga tahun lalu masih setinggi jengkal. Dengan mata sendu aku mengamatinya begitu asing. 1 Km pada arah berlawanan, ratusan perahu nelayan tertata rapi menanti petang. Sekarang ini telah terbiasa dan menyatu, sehingga sesekali perlu untukku merindukan seperti; hamparan sawah; padi yang menguning; dan tanah sawah yang bercelah pada musim kemarau. Lingkungan yang telah membesarkanku. Halte di depan sana semakin dekat, lalu aku akan menunggu bus untuk kemudian menuju terminal kota Tapal Kuda, Surabaya, Surakarta, Jogjakarta, lalu 2 jam kemudian... sampailah!.

Sebelum Halte itu menjadi saksi kebosanan, sebelum lalu-lalang kendaraan memadati seruang imaji, sebelum kedua mata pedih dan terik kian menghantam, perlu kutuliskan tentang bayangan-bayangan yang menggelayut itu:

Sedari dini dimana aku tertidur, dan kemudian seutas penjalin membangunkanku, sama sekali tak kutangkap bayang itu secara sempurna. Aku tidak mendapatkan diri-nya secara utuh. Akhirnya tiada alasan untuk menampik ejekan, tertawaan, dan berbagai sindiran; aku gila. Dengan sengaja aku melewatkan pertanyaan-pertanyaan seperti: apakah aku sedang jatuh cinta? Kenapa aku harus mencintai? Apa yang membuatku harus mencintai?. Ia datang seakan bidadari malam yang menjadi ratu di ruang imajinasi. Dan aku terus meriasnya dengan ‘apa yang aku dengar’: tentang raut muka, bentuk tubuh, sifat, dan segala tentangnya; memperindah, dan seolah mencuatkan apa yang aku sebut sebagai dogma. Lalu aku mencintainya. Namanya terus mendengung seperti ilham, atau bahkan wahyu yang serta-merta segera kuyakini. Ia tak ubahnya bisik orang tua tentang Tuhan, yang lalu kuyakini tanpa alasan, kemudian aku hidup beragama, dan mungkin tanpa kesadaran. Ia begitu kuat, dan terus menari di tengkuk leherku.

Aku tidak mengerti suatu apa tentang perempuan. Pernah aku mendengar bahwa perempuan ialah makhluk yang penuh dengan keunikan. Namun begitu, tak jarang kutemukan perempuan adalah golongan yang banyak tertindas. Orang lain bilang: “perempuan adalah kaum lemah.”, tapi pada abad 19, di Amerika, kaum perempuan sempat menggemparkan. Yang lain lagi beranggapan bahwa perempuan adalah setan, tapi dari rahim pula lahir berjuta kesalehan. Si A pernah mengatakan; “perempuan adalah simbol kesucian.”, namun tak jarang vagina kaum hawa diperdagangkan. Dan bagiku, kau adalah perempuan, itu saja. kau begitu lentur sehingga menyelinap dalam ruang imaji. Kau begitu indah dan kuat, sehingga menarik ego, dan pada saat yang sama mematikan nalar pikirku.

Tak pernah kutuliskan waktu, saat, detik, dan kapan kau datang. Kau sama sekali datang dan menawan imaji tanpa memberi batas waktu kapan kan kau lepaskan. Seperti hanya ada kata ‘abadi’ dalam ruang dimana kau menjadi ratu. Sungguh seruang khayali yang tak kenal tautan waktu. Pun saat bibir tipismu bergerak, seakan ada kata wahyu yang kutangkap, dan segera kuimani. Maka aku biarkan semua ini tanpa titik sebermula. Kecuali kau akan mengakhiri dengan ‘hadir’ atau bahkan pergi sejauh mungkin; “ini bukan yang saya harapkan.”

Demikian tulisku pada lembar Diary. Entah pada lembar yang keberapa. Jelasnya, aku mengenal buku itu 1 tahun lalu. Ia seperti karib yang mengerti betul akan kejujuran, tanpa tendensi, ‘sebagai kawan yang berani kritis,’ kata seorang teman. Ah, aku belum lagi mengerti tentang tulis-menulis. Maka, hanya perlu kemauan untuk mengisi Diary bercorak hitam itu. Sederhana, kemauan. Dengan begitu aku tidak perlu berprasangka bahwa apa yang aku lakukan telah menabrak kode etik kepenulisan. Kejujuran, tendensi, baru kudengar beberapa bulan kemudian. Dan sebelumnya, kejujuran tak lebih dari sebatas referensi. Demikian aku memahaminya.

Di atas sebuah bus.

Ada semacam kebahagiaan merona; terlepas dari segala aturan. Jeruji, demikian kawan-kawan mengumpamakan segala aturan. Dengan begitu, hidup dalam aturan seakan hidup sebagai tawanan. Sedang kini bus melaju, dan aku bebas menatap segala yang ada. Mungkin aku akan tidur hingga bus berhenti, atau apa pun. Biarlah aku menikmati segala yang ada dengan kehendak, dengan begitu aku akan mencipta dunia. Ya, duniaku sendiri.

Aku sedang tidak ingin memberi nama atas dunia yang baru saja kucipta. Namun, akan kukenalkan padamu seseorang:

Wulan namanya. Ia lahir pada tahun 1986. Tepatnya pada tanggal 13 Oktober. Aku masih ragu untuk memastikan bahwa ia lahir di kala senja, sesuai nama lengkap yang ia miliki: Wulan Kala Senja. Ada semacam bias merah yang menggenangi bibir tipisnya; airmukanya tidak sayu; sorot matanya sejuk. Ia adalah perempuan jawa, tidak terhitung tinggi. Namun begitu, ia lebih jenjang jika dibandingkan dengan sinden Jaipong yang nampak pendek dengan kebaya yang mengatup tubuh sintalnya. Wulan yang pada kemudian hari kukenang.

Aku belum lagi mengenalnya utuh. Pada masa itu, aku tentu memahami bahwa yang dimaksud dengan ‘utuh’ ialah mengenal beserta latar belakang, dan apa yang berada pada kisaran hidupnya: ayah, ibu, keluarga, adat, tradisi, dll. Hal yang teramat menjemukan bagiku. Dan aku tetap ingin mengenalnya sebagai Wulan Kala Senja, sebagai perempuan, sebagai manusia yang memiliki entitas dan kebebasan.

Kini aku benar-benar p-u-l-a-n-g. Dan aku tengah menanti senja.

Bersambung...

Edisi II Kata

Membingungkan, begitu kesanmu.
Proses transformasi makna memang tidak selalu mudah. Terlebih kala makna yang dimaksud berada ditengah jejaring kata (tertulis). Paling tidak tulisan tersebut telah terpisah dengan si empunya, dan berada utuh dipangkuan sang Pembaca. Maka, tulisan akan murni sebagai jalinan-jalinan yang –tentunya—terpaku pada kaidah linguistik. Kaidah yang kemudian menjadi piranti dalam memahami pesan. Sang penulis telah berada di luar ruang dialektika antara tulisan dan sang Pembaca.

Konon ‘dialektika’ ini telah ada beberapa abad lalu. Terangnya, ada semacam otoritas yang masih diragukan; milik pembaca, atau kuasa sang Pengucap. Misal, dalam diskursus Turas, al-Qur’an, dan Hadis: al-Thabarî berasumsi, Nabi adalah pemegang otoritas tunggal dalam interpretasi al-Qur’an. Kitab suci Kristen, Bibel, pun mengalami hal yang sama. Tentu karena Sang Pengucap masing-masing kitab di atas ada di alam pesan ke-Tuhan- meta. Atau, sang Rasul yang secara sengaja ditugaskan sebagai penyampai an, telah wafat.

Namun, dalam setiap lapukan sejarah literatur akan selalu ditemukan semacam Mansius. Sosok yang teguh ini pernah mengisi sejarah filsafat Konfusiusisme Cina: ia seorang literalis; lebih memilih untuk menghafal seluruh ajaran dan pemikiran sang pendiri, Konfusius, daripada melakukan interpretasi dengan cara menyerap spirit teks ajaran. Dan yang terakhir ini kemudian diambil oleh Hsuntse dan Yangtse sebagai sebuah cara baca yang ia sebut dengan, ‘metode analitis’.

Proses transformasi makna memang tidak selalu mudah. Seolah telah menjadi tabiat kata; jalin-rangkai abjad yang kemudian tersatukan dalam kata tersebut membatasi makna. Segala pesan yang telah menggumpal dalam hati, suatu kali hanya terwakili oleh kata yang sangat singkat. ‘Aku sayang padamu’, kataku misalnya. Maka, akan sangat berbeda jika kita mendengar bagaimana Once menyatakan maksud yang sama dengan sebuah lagu, ‘Dealova’. Terlebih bahwa bait-bait lagu tersebut kemudian diiringi oleh semacam aransemen, dan dilagukan dengan tangga nada. Contoh lain adalah kasidah ‘Burdah’ yang acap dilenggamkan di surau-surau desa: betapa sang penulis, Syeikh al-Bushairî, dengan seluruh daya upaya menciptakan ratusan bait hanya untuk menyampaikan pesan cinta terhadap sang Rasul.

Tentu hal ini bukan sekedar gaya, atau karakter. Karena masing-masing akan memiliki caranya dalam menyampaikan kata hati. Seorang debator mesti merasa terancam jika harus ‘bertele’ dalam pengucapan. Ia akan lebih nyaman dengan diksi seorang orator: singkat, retoris, padat, tegar, îjaz—dalam istilah sastra lingustik Arab. Layaknya seorang debator dan orator yang gagah dan tegas di atas panggung, pun penyair atau pujangga yang tengah berada di padang cinta; ia akan lebih mungkin memilih diksi panjang, imajinatif, ithnâb—dalam istilah sastra linguistik Arab. Karena ia sedang berada dalam ruang yang seakan tidak memiliki batas; ia tengah menikmati semacam kebebasan, dan benar-benar bebas; di sekitarnya ada jutaan diksi yang mungkin ia pilih, dan ia bebas bahkan untuk menggunakan seluruhnya.

Seolah denting yang kau perdengarkan
Maka semacam getar meretas
Tanpa nada menentu
Ia liar memecah segala kesunyian
Dan ramai pun gagap

Demikian petikan kataku.

Masing-masing akan memiliki caranya dalam menyampaikan kata hati. Tentu ada semacam kebebasan yang menjadi pesona sang penulis atau pengucap. Namun begitu, sang pembaca atau sang pendengar, akan selalu mendapatkan kuasanya; ia bebas memberi makna.[]

Edisi I Kehendak

Pada setiap perjalanan menuju kedewasan, pasti akan menemui ‘keraguan’. Keraguan seakan menjadi ciri, lebih ekstrim lagi ia seolah pos. Seperti tanda baca koma yang harus diiringi dengan jeda. Keraguan seakan setitik air pada paruh burung camar; jatuh kembali, atau ia akan terbang bersama sang burung menuju jurang yang lain, tempat yang lain, mengarungi segala yang tak pernah terekam. Karena titik air seakan cermin yang memiliki daya rekam, daya pantul.
Nyatanya, daya penglihatan cukup potensial dalam proses ini. Setidaknya ada setelah daya dengar, seperti yang dikatakan oleh Richard Bourdieu. Maka, benar yang acap dinyanyikan oleh anak gembala, ‘Mata adalah jendela dunia’. Pun demikian kata pepatah. Dan seperti kedewasaan yang terbentuk oleh cerita-cerita sang mata, aku pun pernah mendengar ia bercerita:

Apa yang mungkin dicapai oleh kelenjar mata
Ia tak lebih jeli dari telinga kuda
Ia menangkap apapun seakan kehidupan mati


Sesekali saya perlu mengambil jeda untuk bersikap, karena apa yang disampaikan mata akan selalu sama dengan realita. Ya, realita pada detik dimana ia menangkap fenomena. Namun begitu, ia pernah dikata sebagai kejujuran. Kaum cendekia menyebutnya empirisisme.

Dilematis, suatu saat kejujuran harus dimaknai dengan 'keselarasan atau kesesuaian' dengan realita. Pada saat yang sama pun kita telah telah mengenal kuasa rasio. Maka, 'kesesuaian' akan dipertanyakan kembali karena kesesuaian bukan sekedar mencerap ‘apa adanya’. Logis, demikian akal menuntut terhadap kuasa penglihatan. Berapa banyak realita yang tertangkap oleh mata, namun ternyata acap terfilter oleh rasio yang mendamba segala yang logis?

Takjub, ketakjuban, ialah salah satu yang acap diperoleh oleh hati dengan menerjemahkan 'cerita' Sang mata. Atau sebaliknya, kepedihan dan kebencian. Oleh karena itu, keraguan adalah sebuah niscaya. Sebab kita hidup. ‘Aku berfikir, maka dari itu aku ada,’ kata Descartes. Saya sedang tidak mengetengahkan sebuah diskursus ‘ada’, permasalahan yang tak kunjung luput bahkan dalam pembahasan antropologi. Dalam ajaran Islam, ‘Ada’ tidak lain dari wujud derivatif Tuhan, “segala wujud diciptakan oleh Tuhan.” Sementara dalam pandangan lain, ‘Ada’ tentu akan memiliki maknanya sendiri.

Ia cantik, sorot matanya memupus segala keraguan dan pesimistis

Begitu kiranya yang disampaikan oleh Sang mata. Maka, muncul seperti ketertarikan, senang, kagum. Semuanya ada sebagai hasil dialektika inter-subyektif; saya sebagai lelaki, saya sebagai yang telah dewasa, cantik yang merupakan sifat seorang perempuan, dan perempuan itu sendiri sebagai entitas yang samasekali berbeda dengan saya.

Ketertarikan bukan seperti jarak tempuh yang mungkin diukur secara matematis. Ia seperti wahyu Tuhan yang digambarkan oleh riwayat; semacam denting lonceng yang kuat dan menggigit. Seperti halnya Nabi yang tidak memiliki otoritas –bahkan untuk merubah wahyu Tuhan, maka kita hanya bisa mengucapkan ‘ketertarikan’ yang mungkin mewakili semacam denting kuat tersebut. Mengubahnya dengan ‘ketakjuban’, ‘kekaguman’, tentu tidak sederhana. Karena butuh atribut yang lebih; interaksi, pengenalan persuasif, dll, untuk kemudian mengucapkan: “aku kagum, dan takjub padamu.” Tanpa atribut-atribut tersebut, mungkin akan lebih terkategorikan sebagai ungkapan hiperbolis. Dengan begitu kejujuran telah terlumuri semacam harapan. Gombal!, mungkin itu yang kerap dilontarkan seorang perempuan kemudian. Bukan hanya kepada perempuan, dalam pujian sekalipun kita harus mengetahui batas.

Pada titik tertentu ketertarikan telah kuterjemahkan menjadi sebuah gerak dinamis. Ia berkembang. Terlepas ia tumbuh menjadi semacam kecemburuan, atau keinginan untuk memiliki. Paradoks, yang pertama seakan muncul sebagai antitesa dari yang kedua. Bukankah perlu ada kecemburuan untuk dapat memiliki?. Sementara itu, ‘memiliki’ seolah diksi yang amat absolutis; bukankah sebagai pemilik kita seakan telah memiliki wewenang?

Memiliki ialah membunuh. Karena dengan menjadi pemilik seakan kita mengikat ‘kebebasan’ yang merupakan ciri kehidupan. Maka, memiliki dan dimiliki bukanlah diksi ‘keadilan’. Mungkinkah dengan menjadi pemilik, dan pada saat yang sama ia tidak mempunyai wewenang yang mengikat? Tentu ini adalah pertanyaan konyol, atau lebih sopan ungkapan ini tak lebih semacam rayuan. Kepemilikan tak lepas identik dengan kuasa, dan kekuasaan.

Ketertarikan tetap merupakan sebuah gerak yang dinamis. Ia seakan ombak yang mungkin surut, atau sebaliknya. Ia berkembang. Dan kini kemungkinan yang ada bukanlah kecemburuan, atau keinginan untuk memiliki. Seperti halnya hegemoni, menguasai-dikuasi, otoriterianisme, diktatoris, yang kontra dengan ‘keadilan’, manusia ialah makhluk yang memiliki kehendak. Ia hidup, dan menguasai akan kehendak yang dimiliki. Maka, saya menemukan sebuah kebebasan dalam ‘mencintai’. Dan kita telah sama-sama mengetahui bahwa kuasa kita atas obyek yang dikehendaki berada di bawah naungan sang Maha Pengasih. Maka, aku pun berdoa.[]

Persaksian

Suatu periode dengan segala karakteristiknya hanya akan tampak utuh bila kita “menoleh ke belakang”
(Bachelard)

15 tahun selepas al-Ghazali mangkat, Abu al-Walid (1126 M) masih seorang bayi. Bayi kecil yang ditimang sisa keriuhan “The Golden Age of Islam”. Abu al-Walid kecil turut menyaksi ketegaran benteng Granada menjaga Spanyol. Di Timur, mercusuar-mercusuar Baghdad masih tegak memancarkan pendar keemasan. “Inilah kegagahan Arab-Islam”, demikian sejarah memahatkan sabdanya.

Kelak, Abu al-Walid sadar, panorama itu adalah dilema. Ia serupa kutukan yang mewujud dalam perilaku takfîr. Kutukan yang menunjuk Yunani sebagai kambing hitam. Dalam kebenaran yang berlindung-padu di bawah kubah wahyu, takfîr menjelma kuasa tak terbantahkan. Mendaku kebenaran dalam sederet klaim.

Beberapa masa, klaim kebenaran bergeser menjadi pembelaan atas nilai-nilai positif yang diyakini. Meski pada saat yang sama memiliki sifat attractive. “‘Klaim’ bukan lagi wujud ‘determinasi dan keberanian’”, Foucault menuduh nyaring. Tapi, di sisi lain, kegagahan itu juga semisal berkah. Dari rahimnya, terlahir rasionalitas, filsafat, akal, dan kebebasan.

Generasi belakangan mengakrabinya dengan panggilan Ibn Rusyd. Ernest Renan menduga, kesadaran filosofisnya terpantik oleh pertanyaan penguasa Marrakesh yang dijumpainya berkat jasa Ibn Tufayl. “Sungguh malu dan hinanya diriku,” sesal batinnya. Saat itu, Abu Yusuf Ya’qub (1163-1184.M.) mencecarnya ihwal “filsafat Yunani dan Alam”. Maka, sosok yang memiliki simpati pada al-Ghazali ini memutuskan mendermakan waktunya guna mempelajari filsafat. Dia tenggelam dalam literatur filsafat. Beberapa akademisi, lantas menyematkan julukan “El Gran Comento” (Sang Pen-syarah) Aristoteles.

Dan nama harum Ibn Rusyd mulai merebak. Kepintarannya nampak menyala serupa Bintang Kejora. Dengan cerdas, Filsuf sekaligus Kadi ini mendamaikan perdebatan perihal ‘kebenaran’. Baginya, kebenaran adalah tunggal. Meski dari dua kutub yang diperlawankan; filsafat dan agama. Bagi dunia Barat (Maghrib), dia tentu lebih dari sekadar ‘matahari’.

Di Timur (Masyriq), minta mempertentangkan akal dengan wahyu menjelma sebagai ‘dosa’ usang berupa kebiadaban. Kebiadaban yang berputar di antara hukum, hakim, dan terhukum. Al-Ghazali, Sang Pembela Islam dengan sigap menarasikannya dalam Tahâfut al-Falâsifah. Berdasar kuasa agama, dia mencerca, menista dan mengkafirkan filsafat. Dia kabur dari jalan filsafat menuju lorong lain berupa tasawuf. Dia bersikeras mendakwa filsafat takkan mengantarkan pada kebenaran.

Dan filsafat di Timur seperti tergorok urat lehernya. Mati terlindas sabda langit. Al-Jabiri mencoba menjelaskan motif keputusan aneh al-Ghazali itu. Dalam salah satu tetraloginya, Takwîn al-Aql al-‘Arabi, dia menduga Masyriq belum siap ‘berkawan’ dengan konstruk nalar yang berbeda. Nalar Timur cenderung tak berdaya di hadapan teks. Beda di Yunani sana. Yang memilukan, Sang Hujjat al-Islam ini tengah mengabdi pada dinasti Seljuk yang gerah dengan filsafat.

Dan purnalah al-Ghazali dengan segenap mitos dan eposnya.

Menyorot nalar memang dilematis. Ia jelas berjenjang; tak sama antara satu peradaban dengan yang lainnya. Ada ‘kelas-kelas’ dikotomis yang mustahil ditiadakan. Meski mendaku dalam ketunggalan rumpun. Penyokong mazhab Aristotelian paham benar konsekuensi itu. Dan keberjenjangan itu meletupkan kecurigaan dan sinisme. Pengagum nalar burhânî, bayânî, atau, pun ‘irfanî, tersekat dalam dunia sempit masing-masing. Yang tersisa adalah trauma.

Tentu peradaban tak pernah meminta sesuatu yang disebut sebagai “kesalahpahaman” selamanya akan menjadi trauma sejarah. Sebab ia hanya penghalang. Ia serupa tabir bagi “kontinuitas” keilmuan. Yang pasti akan menjadi hijab bagi jalan menuju kebenaran.

Maka, sejarah akan tetap berjalan. Meninggalkan luka, trauma dan membawa sebias cahaya. Atau sembari menjinjing kecemasan jaman. Kecemasan yang mewujud dalam akal yang terpasung fanatisme. Nalar yang dicekam kekhawatiran hanya akan menunjuk proses kritis-kreatif sebagai sebentuk heretik. Inilah kecemasan panjang kaum Muslim.Dan di Barat sana, proses kritis-kreatif terus disemai.

Ini mengapa, kaum Muslim mesti sudi merapal mantra Bachelard bernama “hambatan epistemologi”. Bagi filsuf Prancis abad 19 ini, ‘hambatan’ adalah keadaan dimana manusia “buta” terhadap kemungkinan-kemungkinan yang secara obyektif tersedia bagi ilmu pengetahuan. Jika demikian, kita tak boleh lagi membutakan diri. Sebab dengan daya kreatif dan nalar inovatif, Ibn Rusyd mampu mempersaudarakan filsafat dan agama. Menyandingkan akal dan wahyu.

Ibn Rusyd begitu atraktif berlogika dalam menguak tanda-tanda. Meski di lain waktu, dia tak menganggap sepi teks dan wahyu. Sesungguhnya, Ibnu Rusyd tengah menelusuri jalan al-Farabi, Sang El Segundo Maestro. Juga meneladani Ibn Sina. Ketiganya tak hanya menenggelamkan diri dalam ilmu keislaman. Mereka menghayati filsafat laiknya mengimani wahyu. Tak ada yang berat dengan menempuh laku sebagai hamba Tuhan dan agamawan sekaligus. Dan benar sabda mereka, tak ada permusuhan antara filsafat dengan langit.

Dan kelak, gagasan mereka yang mengkristal di tangan Averroes, Sang Penyulut Pencerahan ini dipahami sebagai “double truth” oleh Averroisme Latin. Gagasan besar yang sanggup meruntuhkan otoritarianisme gereja Eropa di abad ke 13.

Demikian masyarakat Barat mempersaksikan keagungan dan keabadian Averroes.[]

Followers

Catatan Gila © 2008 Template by Dicas Blogger.

TOPO