Saturday 14 March 2009

Edisi I Kehendak

Pada setiap perjalanan menuju kedewasan, pasti akan menemui ‘keraguan’. Keraguan seakan menjadi ciri, lebih ekstrim lagi ia seolah pos. Seperti tanda baca koma yang harus diiringi dengan jeda. Keraguan seakan setitik air pada paruh burung camar; jatuh kembali, atau ia akan terbang bersama sang burung menuju jurang yang lain, tempat yang lain, mengarungi segala yang tak pernah terekam. Karena titik air seakan cermin yang memiliki daya rekam, daya pantul.
Nyatanya, daya penglihatan cukup potensial dalam proses ini. Setidaknya ada setelah daya dengar, seperti yang dikatakan oleh Richard Bourdieu. Maka, benar yang acap dinyanyikan oleh anak gembala, ‘Mata adalah jendela dunia’. Pun demikian kata pepatah. Dan seperti kedewasaan yang terbentuk oleh cerita-cerita sang mata, aku pun pernah mendengar ia bercerita:

Apa yang mungkin dicapai oleh kelenjar mata
Ia tak lebih jeli dari telinga kuda
Ia menangkap apapun seakan kehidupan mati


Sesekali saya perlu mengambil jeda untuk bersikap, karena apa yang disampaikan mata akan selalu sama dengan realita. Ya, realita pada detik dimana ia menangkap fenomena. Namun begitu, ia pernah dikata sebagai kejujuran. Kaum cendekia menyebutnya empirisisme.

Dilematis, suatu saat kejujuran harus dimaknai dengan 'keselarasan atau kesesuaian' dengan realita. Pada saat yang sama pun kita telah telah mengenal kuasa rasio. Maka, 'kesesuaian' akan dipertanyakan kembali karena kesesuaian bukan sekedar mencerap ‘apa adanya’. Logis, demikian akal menuntut terhadap kuasa penglihatan. Berapa banyak realita yang tertangkap oleh mata, namun ternyata acap terfilter oleh rasio yang mendamba segala yang logis?

Takjub, ketakjuban, ialah salah satu yang acap diperoleh oleh hati dengan menerjemahkan 'cerita' Sang mata. Atau sebaliknya, kepedihan dan kebencian. Oleh karena itu, keraguan adalah sebuah niscaya. Sebab kita hidup. ‘Aku berfikir, maka dari itu aku ada,’ kata Descartes. Saya sedang tidak mengetengahkan sebuah diskursus ‘ada’, permasalahan yang tak kunjung luput bahkan dalam pembahasan antropologi. Dalam ajaran Islam, ‘Ada’ tidak lain dari wujud derivatif Tuhan, “segala wujud diciptakan oleh Tuhan.” Sementara dalam pandangan lain, ‘Ada’ tentu akan memiliki maknanya sendiri.

Ia cantik, sorot matanya memupus segala keraguan dan pesimistis

Begitu kiranya yang disampaikan oleh Sang mata. Maka, muncul seperti ketertarikan, senang, kagum. Semuanya ada sebagai hasil dialektika inter-subyektif; saya sebagai lelaki, saya sebagai yang telah dewasa, cantik yang merupakan sifat seorang perempuan, dan perempuan itu sendiri sebagai entitas yang samasekali berbeda dengan saya.

Ketertarikan bukan seperti jarak tempuh yang mungkin diukur secara matematis. Ia seperti wahyu Tuhan yang digambarkan oleh riwayat; semacam denting lonceng yang kuat dan menggigit. Seperti halnya Nabi yang tidak memiliki otoritas –bahkan untuk merubah wahyu Tuhan, maka kita hanya bisa mengucapkan ‘ketertarikan’ yang mungkin mewakili semacam denting kuat tersebut. Mengubahnya dengan ‘ketakjuban’, ‘kekaguman’, tentu tidak sederhana. Karena butuh atribut yang lebih; interaksi, pengenalan persuasif, dll, untuk kemudian mengucapkan: “aku kagum, dan takjub padamu.” Tanpa atribut-atribut tersebut, mungkin akan lebih terkategorikan sebagai ungkapan hiperbolis. Dengan begitu kejujuran telah terlumuri semacam harapan. Gombal!, mungkin itu yang kerap dilontarkan seorang perempuan kemudian. Bukan hanya kepada perempuan, dalam pujian sekalipun kita harus mengetahui batas.

Pada titik tertentu ketertarikan telah kuterjemahkan menjadi sebuah gerak dinamis. Ia berkembang. Terlepas ia tumbuh menjadi semacam kecemburuan, atau keinginan untuk memiliki. Paradoks, yang pertama seakan muncul sebagai antitesa dari yang kedua. Bukankah perlu ada kecemburuan untuk dapat memiliki?. Sementara itu, ‘memiliki’ seolah diksi yang amat absolutis; bukankah sebagai pemilik kita seakan telah memiliki wewenang?

Memiliki ialah membunuh. Karena dengan menjadi pemilik seakan kita mengikat ‘kebebasan’ yang merupakan ciri kehidupan. Maka, memiliki dan dimiliki bukanlah diksi ‘keadilan’. Mungkinkah dengan menjadi pemilik, dan pada saat yang sama ia tidak mempunyai wewenang yang mengikat? Tentu ini adalah pertanyaan konyol, atau lebih sopan ungkapan ini tak lebih semacam rayuan. Kepemilikan tak lepas identik dengan kuasa, dan kekuasaan.

Ketertarikan tetap merupakan sebuah gerak yang dinamis. Ia seakan ombak yang mungkin surut, atau sebaliknya. Ia berkembang. Dan kini kemungkinan yang ada bukanlah kecemburuan, atau keinginan untuk memiliki. Seperti halnya hegemoni, menguasai-dikuasi, otoriterianisme, diktatoris, yang kontra dengan ‘keadilan’, manusia ialah makhluk yang memiliki kehendak. Ia hidup, dan menguasai akan kehendak yang dimiliki. Maka, saya menemukan sebuah kebebasan dalam ‘mencintai’. Dan kita telah sama-sama mengetahui bahwa kuasa kita atas obyek yang dikehendaki berada di bawah naungan sang Maha Pengasih. Maka, aku pun berdoa.[]

Seja o primeiro a comentar

Post a Comment

Followers

Catatan Gila © 2008 Template by Dicas Blogger.

TOPO