Wednesday 13 May 2009

Safari 109

Bus dengan muatan maksimum 50 kursi itu lamban melaju. Beberapa kali tergopoh menyelinap, lalu di kali berikutnya terhenti tiba-tiba.Dan segera aku akan mendengar seperti cacian-cacian memetak telinga, dari mobil-mobil itu. Seperti saat mobil berhiaskan bunga meluncur di waktu siang, sore, malam, bahkan dini hari. Tidak satupun yang mendengar menggerutu, bahkan beberapa akan segera menyambut dengan bunyi serupa siul. Bunyi yang tak lebih indah dari cericau burung Manyar itu, mencuat-bersahut dari mulut-mulut perempuan Mesir: seperti bunyi "la", atau "lu" yang terulang tanpa jeda sepanjang nafas yang dihirupnya. Sontak mobil pengiring pengantin itu akan bersorak dengan deru dan klason-klaksonnya.

2 jam kemudian, bus akan lebih lamban, tersendat-sendat; terminal Tahrir. Dan beberapa menit kemudian saya pun tidak lagi sabar untuk terus duduk menadah peluh. Harus segera turun!
Aku sengaja mendatangi tempat yang tidak lagi asing, bagi siapa pun; “Wikalah”. Saya akan lebih lega untuk menyebut dengan 'kawasan'. Setidaknya akan lebih aman dari segala tuntutan akan batasan-batasan layaknya pada setiap apa yang disebut ‘tempat’—Sementara semisal pedagang sepatu, kaos, telah bermunculan menebar sedari terminal Tahrir.

"Wikalah", kawasan yang tidak asing bagi sesiapa. Bagi konsumen, murah ialah pilihan. Dan 'bebas memilih' pun pilihan lain yang tidak kalah utama. Hukum jual-beli melegitimasi kebebasan ini. Dengan demikian prinsip ideal konsumen akan tergapai: barang bagus, dengan nilai tukar semurah mungkin. Di sinilah "kebetulan-kebetulan" menjadi tuhan; dengan sedikit kejelian, dewi fortuna menjadi penentu nasib baik.

"Wikalah" ialah akar dari sekian muasal dialektika. Bayangkan: sekian konsumen yang datang silih berganti itu, pada tempat dan di bidang lain, akan menjadi produsen. Sementara ratusan produsen pun akan mengalami hal sama, pada tempat, bidang, dan waktu lain. Kini tiap per-seorang telah memiliki dua prinsip yang bertentangan samasekali.Tarik ulur dua prinsip dalam diri masing-masing mungkin terjadi sewaktu-waktu, membenihkan kekhawatiran, atau kelicikan-kelicikan. Dan akan lebih kuat, serta semakin nyata lagi ketika antar individu tengah bertemu: kongkalikong, negoisasi, hingga terbentuk kesepakatan yang murni berdasar atas 'tarik-ulur keuntungan'. Bukankah prinsip ekonomi ialah "mendapat keuntungan sebesar-besarnya, dengan modal sekecil-kecilnya"?! Jangan sebut-sebut moral dalam dunia ekonomi; kesopanan, unggah-ungguh, saling menghargai. Karena semua itu tidak ada dalam kamus pakar ekonomi. Dan dimana, kapan, pun pada bidang apa saja, profesionalisme memiliki satu arti: berlaku sesuai prinsip, lalu menggapai tujuan secara sempurna dalam batas waktu yang terlah penuh perhitungan. Sementara moral itu; kesopanan itu; saling menghargai itu; unggah-ungguh itu; Semua telah mengalami reduktifikasi-reduktifikasi makna, dan lalu menjadi alat manipulasi.

Di tengah hiruk-pikuk orang-orang pasar itu, saya berfikir: Sungguhpun prinsip tersebut kemudian menjadi teori, kemudian meradang dalam segala segmen kehidupan, maka yang menjadi korban utama ialah kualitas. Kualitas atau mutu ini ialah obyek ideal bagi konsumen, pada waktu yang sama ia adalah nadir bagi produsen/distributor. Muncullah sebuah abstraksi baru dalam benakku: dua, tiga, empat, hingga sekian belah pedang bermata tajam tengah bergesek percikkan api. Bukan perang idealisme—meski mirip, ideologi, tapi perang kehidupan. Maka, pasar menjadi ladang paling dinamis, produktif, hingga mampu mencipta tuhan-tuhan baru: tuhan ego, tuhan keberuntungan, tuhan emosi, tuhan gelora, dll. Seandainya saya seekor Khimar yang tak memiliki malu, bolehlah saya tersungkur saat teringat bahwa dimana-mana pasar telah subur: pasar pendidikan, politik, agama, hingga pasar manusia.

Pegal kaki melangkah menjajagi pasar itu, “wikalah” itu, dan bahkan saya telah menjadi satu dari ratusan petarung-petarung itu. Tidak perempuan, tidak laki-laki, tua-muda, semuanya seolah yang paling kekar: dengan mulut yang seumpama retoris handal, otak cerdik seolah politikus dunia, atau bujuk rayu seperti penari ganjen di jalan-jalan dan gang remang.

Pasar menuntut atas adanya sikap. Semakin bertambahnya kebutuhan, kesadaran akan penting adanya solidaritas, kebersamaan, pun semestinya meningkat: bahwa manusia bukanlah Tuhan yang terlepas dalam kesendirian-Nya, dan senantiasa Maha. Namun begitu, kualitas atau mutu patut terabai dari anasir-nasir subyektif; baik produsen, atau pun konsumen. Sehingga ia tidak oleng oleh karena kepentingan-kepentingan. Maka, selain berpotensi mencipta Tuhan, pasar pun mampu memberikan justifikasi atas ke-Esa-an Tuhan.

Senja menggenang di langit barat iringi matahari yang terburu ingin tenggelam. Seakan sang Surya benar-benar telah bosan dengan segala pertarungan-pertarungan. Maka, saya mencoba bercerita tentang keunikan: di pasar itu, ya, “Wikalah” itu, dari ratusan hingga ribuan petarung, mereka memiliki keseragaman nama: Ahmad, atau Muhamad. Dua nama lain; Musthafa, Abdurrahman, sangatlah jarang.
Bus bernomor 109 datang, aku segera naik untuk kembali ke H-10, tempat dimana aku tinggal. Tak lupa aku berdoa penuh cemas: “Tentang 2 nama tersebut, semoga sang Surya hanya bertanya pada anak-anak Indonesia-Mesir. Sehingga esok ia mau bersinar, meski hanya untuk membuktikan tentang keunikan itu..”

Stigma

Ia adalah korban stigma. Oleh karena itu ia murung, barangkali tengah menimbang: menerima, atau acuh (?). Karena ada tuntutan ‘berat’ ketika ia harus mengambil kemungkinan ketiga, menentang: ia harus melakukan diagnosa ulang, atau membuang anggapan, atau bahkan realita cacat itu.

Lili berangkat ke Kairo oleh karena tuntutan pragmatis sama sekali: ekonomi. Gilang, anak semata wayangnya, harus tetap hidup normal: sekolah, sekaligus tidak terpinggirkan dari masa mudanya yang ‘indah’. 4 tahun lalu Lili mengajukan khulu’ pada sang suami. “Bu, dengan mata kepala saya sendiri saya melihat Bapak selingkuh,” demikian kata-tegas Gilang mencabik kepercayaan Lili, pada sang suami, yang telah limbung sejak beberapa bulan sebelumnya.

Perceraian adalah aib. Mungkin ia menjadi sebentuk bukti bahwa wanita memiliki hak, dan bahwa perempuan pun memiliki kewajiban yang sama dengan lelaki: membela tegas atas hak-haknya. Kepatuhan terhadap suami ialah etika inter-relasi dalam memangku-melaksanakan kewajiban, dan menerima tulus atas hak masing-masing. Maka, ada semacam paradoksi makna perceraian: wujud ketegasan wanita, atau ketidaksanggupan masing keduanya dalam memahami hak dan kewajiban (?).

Bukan hanya karena kewajiban, cinta Lili harus mampu membebaskan anak semata wayang itu dari realita sadis-ironis yang mungkin menyudutkan psikologinya. Gilang harus hidup normal, pikir Lili matang, ‘saya harus bisa menyingkirkan kenyataan ‘gila’ itu dari memori Gilang!’. Maka, Lili berangkat ke Kairo, menjadi Tenaga Kerja, karena pengorbanan dan kerja keras sekalipun harus dengan pertimbangan yang sempurna. Sekarang ini jihad serta ibadah bagi perempuan, menurutnya, bukan sekedar ketabahan dan kesabaran. Tapi ia harus kreatif dan berani mengambil resiko, karena Gilang butuh untuk harus hidup normal, dan tanpa cacat mental.

Kini ia tinggal pada sebuah flat di kawasan distrik 10 kota Kairo, di tepian gurun. Satu minggu ia habiskan waktu di daerah Downtown. Sebagai ‘rewang’, ia memiliki hanya 2 hari libur; Jum’at dan Sabtu. Dan ia mendapatkan uang sebesar 450 Dollar setiap bulan untuk uang upah. Ah, Lili tak lagi asing dengan Dollar: istilah kurs pun telah cepat ia kuasai. Katakanlah 100 Dollar setara dengan jumlah Le. 500, Lili tidak perlu berfikir lama untuk menentukan jumlah dalam satuan Rupiah; cukup melipatkannya, Rp 2000 x 500. ¼ dari upah satu bulan Lili hampir sama dengan gaji bulanan PNS di Indonesia sana.

Menjadi ‘rewang’ ialah profesi baru bagi Lili. Tidak hanya patuh, Janda berumur 27 tahun itu acapkali harus memaksakan ketulusan dalam menjalankan segala bentuk perintah Sang majikan. Bagi saya ini penting: bukan hanya subtansi kalimat, nada, sintaksis, intonasi, akan turut membentuk makna sebuah perintah. Khususnya kesan. Lili tidak pernah mengerti perihal perbudakan yang sudah berabad silam dikecam oleh dunia. Meski begitu, ia dapat merasakan betul adanya dialektika keji yang menempatkan ‘rewang’ sebagai obyek, sementara majikan sebagai subyek yang memiliki kuasa absolut. Lili tidak peduli, mungkin ia akan memahaminya sebagai tuntutan profesionalisme kerja.

Ia adalah korban stigma. Dunia TK ialah dunia hura-hura, tidak lelaki tidak perempuan, dunia yang perlu bingar, demikian Lili mendengar entah dari siapa. Mungkin saja itu ungkapan mencibir, atau sesumbar insan oportunis (?). Lili tidak berani memastikan. Karena dua-duanya ada: sebagian merasa enggan, malu, sinis, atau emoh dekat dengan TK, ada pula dari bagian tersebut yang turut-numpang berfoya.

Terlepas dari benar tidaknya apa yang didengar oleh Lili, potensi munculnya anggapan negatif itu sangat besar. Sama besarnya dengan kemungkinan adanya tradisi ‘pasar bebas’ dalam dunia mereka. Bagaimana tidak?! Sudah menjadi semacam fitrah manusia ialah, ia akan lebih senang berada di atas; yang memberi; mulia. Maka, menjadi penting untuk memperhatikan betul apa bentuk kerja para TK(w/i); baik legal, dan terlebih yang dikarenakan oleh alasan semisal Lili, ibunda Gilang.

Lili bukan perempuan agamis. Perempuan Bumiayu kelahiran 1982 itu pun tidak pernah mendengar sejarah perjuangan Karlmarx. Namun, ia dapat merasakan bahwa perbudakan, dalam bentuknya yang paling sederhana sekalipun, tidaklah baik.

Seleksi alam terjadi begitu natural, dan menyudutkan mereka. Namun, stigma muncul secara disengaja, dan dengan begitu tentu lebih menyakitkan. Dengan lebih santun, sebagian menyebutnya ‘dosa, atau konsekuesi sosial’.

Lili adalah korban stigma. Oleh karena itu ia murung, barangkali tengah menimbang: ada berapa Lili di seluruh dunia ini, dan sampai kapan ‘pasar bebas’ itu akan terus tumbuh? Sebuah kewajaran jika mereka memiliki prinsip: ‘Pandai-pandailah menghibur diri meski dalam keterasingan”.


Monday 20 April 2009

Antara Proyek Dalsikin dan Proyek Dalfachir

(Sebatas refleksi atas ambiguitas proyek di kampong ‘sempalan’)

Kenyataan-kenyataan bukan kurang benar atau lebih benar, tetapi kurang diketahui atau lebih diketahui saja
[S.M. Liverty]


Aku memulai saat kabut kerutkan pagi dengan rejam dinginnya. Dalam jeda waktu dimana aku terlipat-gilas oleh cerita “Orang-orang Proyek” karya A. Tohari, yang melukis idealisme Si anak gaplek dan thiwul; demi penghormatan atas ilmu mulia yang tergantung-genggam pada gelar, Kabul, melepas-lapang sebuah proyek awal yang siap menguji-buktikan ke-Insinyur-annya; saat aku harus mengakui Si impoten, Pak Tarya, yang berwibawa di balik senandung falsafi Asmaradana dengan iringan siul lirih seruling bambu; dan saat aku tersadar akan iba Pak Kades, Basar, terhadap kondsi sosial-religius masyarakat yang tergumam nyata pada cerita ber-setting waktu 17 tahun silam.

Bukan mudah mengukur keterpurukan yang telah, dan sedang mengakar: baik dengan analisa regresif-liberal sekalipun. Karena pada saat yang sama capaian-capaian tradisi patut mendapatkan apresiasi. Bukan terpa bengis-caci. Atau bahkan, mencipta preposisi radikal dengan cara mendudukan—dengan sinis–modernitas di hadapan masa lalu sebagai lawan. Sehingga membenihkan kegagapan-kegagapan sosial pada bujang masa.

Pada masa yang tak terlampau jauh, pra Orde Baru telah menciptakan jiwa mulia semisal Pak Tarya; membangun idealisme mulia sebagaimana terejawentahkan pada sikap Kabul yang membela-mati gelar suci akademik; ibu Wiyoso yang menawarkan arti penting masa depan, yang lalu membuat Yos, sang putra, harus menimbang-setara cinta sebagai problema rasional dan egoisme. Cintapun mengenal etika, begitu kiranya prinsip yang ia pegang.

Lagi-lagi politik menggilas-retaskan kejujuran dan kesungguhan. Alih-alih mengangankan kesalehan sosial dengan janji visionaris, malah menjerumuskan Basar pada penyesalan atas pengalaman akademisnya. Sukses membuat mentas Ir. Dalsikin dari jurang kemiskinan, namun lalu menjadikannya sebagai hamba ke-glamor-an. Bahkan negara yang telah melegal-wajarkan segala bentuk ‘permainan’ instansif. “The country can do no wrong”, akhirnya pun menjadi asumsi yang harus merasuk-sakiti jiwa akademisi. Hingga lubuk hati sang Insinyur hidro, Samad, adik Kabul. Sungguh ironis, Revilatalisasi feodalisme kembali mempertaruhkan masa depan masyarakat. Bukan sekedar jembatan garapan Kabul yang tengah dipertaruhkan mutu serta masa pakainya, dan bahkan mimpi-mimpi kawula muda pun telah terbeli.

Aku memulai saat kabut kerutkan pagi dengan rejam dinginnya, dengan pertanyaan yang cukup mengiris: Dan tanah-pijakku, benarkah sedang menjalani masa “Orang-Orang Proyek”; mutu akademik dipertaruhkan dengan waktu dan kuasa suksesi instansi tertentu, tanpa menambah fasilitas kecuali hanya mengurangi kuantitas? Tanpa mendamba kualitas, akan tetapi memuja ‘usai lekas’? Atau, karena telah ada pada masa yang lebih kini, tanah-pijakku telah terjerembab pada dialektika ‘mati’, dan hanya berpotensi untuk menopang eksistensi—agar tetap eksis? Mana yang lebih pantas, menghitung semisal Kabul, atau menyembah semisal Ir. Dalsikin sang Pemborong itu?

Perihal Obsesi

Baik, semua seolah telah mengakui bahwa pendidikan ialah struktur. Dari dimensi lain, kultur pun turut melegitimasi bahwa, pendidikan adalah gedung-gedung sekolah; lembaga-lembaga; diktat-diktat; jadwal-jadwal; rapot, rangking, dan gelar-gelar. Fenomena positif pergeseran dari ‘yang tak beraturan’ menuju ‘keteraturan’. Melandasi asumsi ini ialah, setiap individu merupakan entitas ‘tak sempurna’ yang memiliki selaksa keinginan. Kalau boleh saya bayangkan, keinginan adalah relasi inter-subyektif dengan obyek-obyek yang kemudian menghasilkan bias: obsesi. Oleh karena itu, akan kita dapati bahwa relasi ini mewujud dalam pola interaksi ‘tak beraturan’.

Adalah kenyataan lain, relasi inter-subyektif dengan obyek-obyek tersebut tercover dalam pola hubungan yang lebih logis. Sengaja saya katakan logis karena, interaksi antara obyek-obyek dengan inter-subyektif ini mampu memompa kreatifitas individu dalam mencipta ‘anak obyek’. Bukan lagi pola interaksi simplistik yang terkatung oleh obsesi yang sama sekali fluktuatif: kembang-kempis, pasang-surut, naik-turun. Pada pola yang kedua, ‘anak obyek’ adalah hasil kinerja mekanistis nalar-subyek yang mencoba mengakumulasikan obyek-obyek. Oleh karena itu, siginifikansi obsesi bukan lagi hanya sebagai elemen motorik. Lebih dari itu, ia telah terlepas dari ‘ketidakberaturan’, lalu mengendap membentuk sebuah paradigma: semacam pola berfikir matang yang menuntut adanya langkah-langkah aplikatif ‘yang beraturan’.

Sebagai misal dari pola relasi inter-subyektif yang pertama ialah pola pikir anak didik—mulai dari—Taman Kanak-kanak, hingga Sekolah Menengah Pertama. Sekilas misal ini muncul dari cara berfikir linear, dan terlalu menggenalisir. Akan tetapi, melalui lembaga-lembaga pada taraf tersebut kita dapat melihat peran penting pemangku otoritas birokrasi dalam membentuk paradigma anak didik. Terlepas dari metodologi dan cara pendekatan yang digunakan oleh para pengajar, dapat kita lihat jelas bahwa pada masa-masa ini anak didik lebih cenderung meniru. Maka, akan menjadi problema tersendiri saat pendidikan telah digubah sedemikian rupa menjadi lembaga yang serba birokratis. Muncul semacam dualisme tak berimbang; pengajar sebagai ‘pekerja’—dalam maknanya yang ekonomis an sich, atau pengajar sebagai tonggak masa depan peradaban (baca: fenomena PNS dan dampak negatifnya terhadap psikologi anak didik).

Membincang pendidikan ialah menyoal psikologi anak didik. Menganalisa kecenderungan-kecenderungan. Sementara, psikologi anak didik pada usia senja—TK hingga SMP—ialah ragam psikologi individu yang lentur. Memiliki ketergantungan yang teramat kuat terhadap obyek-obyek, dan atau obsesi yang didapatkan. Obsesi yang muncul spontan dari persentuhan langsung antara nalar-subyektif dengan obyek yang ditangkapnya.

Harga sebuah Proyek

Konon ada sebuah masyarakat mahasiswa/i yang berada dalam pangkuan Ir. Dalfachir. Sebutlah kampong ‘sempalan’. Dihuni oleh lebih dari 5000 jiwa; baik mahasiswa ataupun mahasiswi. Diberi nama kampong ‘sempalan’, karena secara geografis ia terletak-terpisah jauh dari negara asalnya. Indonesia. Dan secara ontologis-kultural, kampong ini terletak di bagian kecil benua Afrika yang memiliki kultur Arab.

Pada dini masa jabatan, keresahan mendekapnya: prestasi anak didik menurun drastis. Maka, keresahan ini pun akhirnya menjadi tema pokok dalam acara rutin, Lokakarya. Ratusan stakeholders hadir, lalu muncullah konsensus-konsensus yang berupa kebijakan-kebijakan.

Apapun bentuk kebijakan tersebut, prestasi ialah bagian penting dari pendidikan. Namun, tidak kalah penting untuk menganalisa elemen-elemen pembentuk prestasi. Dan lebih penting lagi bersikap arif menilai unsur-unsur yang mempengaruhi spirit prestatif anak didik. Sehingga kebijakan-kebijakan tersebut tidak rentan—terhindar, dari penilaian peyoratif: kebijakan prematur!

Memandang kampong ‘sempalan’ ini, ada sebuah tuntutan untuk memposisikan mahasiswa sebagai subyek utuh. Mahasiswa yang memiliki nalar kreatif guna mencipta ‘anak obyek’ yang rigid dengan aplikasi-aplikasi ‘beraturan’. Maka, ada 2 titik nadi yang mesti tersentuh, sebelum masuk pada tahap perumusan-perumusan. Pertama: nalar kreatif, beserta unsur-unsur pembentuknya. Kedua: aplikasi-aplikasi yang tidak lepas-sinergis dengan kompleksitas sosio yang membantu mengontrolnya; mungkin berupa birokrasi-struktural, atau prinsip-prinsip privatif masing-masing individu.

Tak dinyana, kemungkinan kedua-lah yang disinyalir kuat telah banyak menopang kualitas pendidikan masyarakat kampong ‘sempalan’. Prinsip-prinsip privatif individu muncul sebagai reaksi positif atas format administrasi-struktural Universitas yang samasekali Arab(is). Maka tidak heran jika ada perbedaan definitif atas prestasi, antara Ir. Dalfachir dan masyarakat kampong ‘sempalan’. Karena bukan mustahil yang pertama memandang prestasi dari sudut pandang, ia (prestasi-red) sebagai bagian dari proyek birokrasi. Sementara yang kedua memandang prestasi sebagai keharusan-kompetetif. Terlepas dari adanya keterkaitan dengan prestatif menurut kacamata pendidikan struktural-birokratis ataupun tidak, yang jelas kurang etis jika menilai fenomena keterpurukan prestasi ini hanya dari satu sudut pandang. Apalagi bersesumbar dengan sedikit politis: “ini dunia proyek!”. Ironis![]

Determinisme Pendidikan; Hanya kata untuk buah Lokakarya

16 November. Patut dicatat sebagai hari disahkannya sebuah program yang kelak akan mempertemukan mahasiswa/i dengan para dosen dalam ruang-ruang khusus; mempertemukan keduanya pada waktu-waktu tersendiri; memadukan kedua belah pihak dimana yang disebut pertama seolah seorang pesakit yang tercengang oleh laku pihak kedua—para dosen –selaku dokter. Program inilah yang kita kenal dengan sebutan Fushul at-Taqwiyah. Sebuah program belajar yang sengaja dirilis guna menyokong prestasi Masisir.

Terlepas dari intensifitas dan besar-kecil pengaruh yang acap sebagai alas penilaian suksesi sebuah program, penulis tertarik, dan merasa perlu untuk melihatnya sebagai sebuah fenomen yang lahir sebagai efek dari dinamika sosial pendidikan. Bukan sebuah program yang muncul secara spontan, dan melulu dari manusia selaku homo faber. Sehingga rentan kritik, baik dari sisi landasan pikir yang kemudian membawanya menuju taraf ide, ataupun dari sisi politis-birokratif dimana program ini dimuncul-sahkan.

Kalau kita tarik pada titik sebermula progam ini, Fushul at-Taqwiyah ialah salah satu buah hasil dari Lokakarya yang diadakan April lalu. Gawe besar yang disinyalir akan menghasilkan ragam solusi melalui konsensus para Stakeholders mengenai penanganan terhadap kerapuhan prestasi Masisir. Dan benar, lahirlah beberapa kebijakan meskipun mayoritas lebih bersifat rekomendasif (baca: Draf hasil Lokakarya). Di sini, prestasi Masisir merosot adalah sebuah premis. Melemahnya prestasi menjadi akar masalah yang penting untuk segera diatasi. Pada sisi lain, tentu kita tidak bisa menafikan bahwa kualitas Masisir sangat koheren, dan berbanding lurus dengan kualitas Kedutaan sebagai pemangku kuasa.

Terkait dengan Fushul at-Taqwiyah sebagai efek dari dinamika sosial pendidikan, ini tidak berarti bahwa program tersebut—dengan segala aturannya –muncul atas “desakan sosial”. Sebuah teori yang dicipta oleh Henri Bregson dalam analisisnya terhadap moral dan kehidupan etis, sekaligus sebagai counter atas rasionalitas Kant (baca: Filsafat Barat). Yang menarik ditilik bukan perhelatan antara peran insting dan rasio dalam menilai, membandingkan, lalu memutuskan. Akan tetapi, bagaimana kita melihat—tepatnya menilai—Fushul at-Taqwiyah sebagai sebuah efek dinamika sosial pendidikan dan pada saat yang sama ia adalah produk dari tahapan “evolusi kreatif” (meminjam istilah Bregson) yang potensial untuk berkembang secara terus-menerus. Pada taraf penilaian ini, tentu kita telah menelanjangi Fushul at-Taqwiyah dari bingkai programnya: kembali pada ‘embrio’ yang memicu semangat prestatif secara murni. Menurut saya, ini lebih mendasar daripada ia sekadar sebuah program yang bersifat ‘semu’dan sangat birokratis.

Pada tatanan realitanya, Fushul at-Taqwiyah berjalan masih sebagai sebuah program. Ini yang layak disayangkan. Entah disengaja ataupun tidak, yang jelas ia terjebak dalam kerangka program yang sangat mekanistis, dan tidak menyentuh—alih-alih mampu merangsang –elan vital prestasi pendidikan itu sendiri. Kemudian sangatlah layak jika pretasi yang diimingkan sebagai wujud nyata dari kualitas dan mutu intelektual diduduk-sandingkan dengan nilai yang serba formalis-birokratis.

Sampai di sini sebenarnya kita dihadapkan pada kontradiksi antara kualitas versus prestasi. Pertikaian yang lamat-lamat ada dimana kualitas tidak terkandung secara apik dalam prestasi formalis-birokratis. Dan sebaliknya. Namun, tidak semestinya kita larut dalam pembahasan ini. Karena hal ini, menurut penulis, adalah realita yang sama sekali tidak bijaksana meski samar adanya. Realita yang lebih menarik dilirik ialah bahwa Masisir di sini diposisikan sebagai masyarakat yang sama sekali unconcious (Tak sadar): semua laku studi-nya harus dideterminir oleh aturan-aturan formal-legitimasif. Maka, dengan serta-merta logika-kreatif, cita-cita, keinginan, dan segala struktur serta psikologi individu yang memotori laju kehidupan masyarakat, dilawankan dengan keadaan unconcious. Pada titik inilah sinergitas antara nilai dasar pendidikan dan program yang memiliki cita prestatif hengkang.

Sebuah program yang semestinya selaras dengan visi-misi serta epistema falsafi, dalam hal ini mampu mendobrak batas kesadaran masyarakat akan nilai dasar pendidikan, malah dinilai kuat, bahkan mengacuhkan ke-‘tidak sadar’-an tersebut dengan menjejali program baru yang lebih ideal-formalistik-deterministik. Selintas lalu pendapat ini mengindikasikan adanya tuntutan kebebasan. Dan memang kebebasan penting ada, dan dimiliki, bukan ia yang seringkali diartikan sebagai “liar dan tanpa aturan”. Namun, lagi-lagi penulis mengacu pada pemikiran filosofis Henri Bregson yang memaknai kebebasan sebagai kesadaran yang berupa gerak, perkembangan, peralihan terus-menerus. Karena kesadaran ialah bersifat dinamis dan kreatif.

Dalam ranah yang lebih fundamental, pendidikan tidak lain adalah sebuah proses yang mempunyai potensi utama sebagai pembina hidup manusia menuju taraf kehidupan yang lebih layak, mulia dan bijak. Sehingga ia berpotensi menggerakan rasio, menuntun logika dan menilai ilham secara sinergis; baik dalam alam sadar ataupun alam bawah sadar. Lalu seiring kemudian ia mengenal dan terejawentahkan dalam sistem-sistem yang lebih partikular. Maka, penulis rasa kurang etis jika sebuah program yang diciptakan dan disinyalir kuat sebagai penyokong prestasi malah membawa insan pelajar pada realita birokratisasi pendidikan.

Fushul at-Taqwiyah sebagai sebuah program yang dicanangkan guna menekan prestasi akademik Masisir patut kita dukung. Namun begitu, akan fatal jika program ini tinggallah sebuah program yang menghantarkan Masisir hanya pada pretasi akademik yang bersifat simbolik; menuntun Masisir menuju altar event ‘Takrim an-Najihin’; membina Masisir untuk tunduk pada diktat literalis, tanpa harus mengenal analisa kritis. Maka tradisi baca, berfikir, menganalisa, berdiskusi, menulis, akan semakin tergilas. Kecuali hanya dimiliki oleh segelintir orang, yang—bahkan–lebih layak dihukumi ketiadaanya samasekali. Bahkan, opini kritis yang mungkin memicu munculnya polemik (sebagai sebuah tradisi intelektualitas yang sehat) acapkali dipupus-hentikan dengan cara—yang menurut sebagian kalangan ialah santun, kekeluargaan.

Sebagai sebuah catatan, setiap individu manusia—dengan segala kompleksitasnya—memiliki berbagai potensi yang mungkin muncul-meretas, tentu bukan tanpa pemicu. Di sini unsur sosio-kultural, sosio-ekonomi, sosio-religi, dan mcam lainnya memiliki pengaruh yang cukup kuat. Mengapa prestasi akademik Masisir merosot? Mungkinkah fasilitas yang masih kurang memadai? Mungkinkah sosio-religi dengan ragam perdebatan ideologisnya ikut andil? Mungkinkah sosio-ekonomi telah menghimpit semangat akademik? Mungkinkah sosio-kultur, politik, ikut berperan dalam keterpurukan ini? jawabannya ialah semuanya mungkin[]

Sunday 19 April 2009

Sajak Sana-Sini


Catatlah!
Kalian di sana
Dan saya di sini
Ada sebuah takdir yang sengaja di-be-ri
Dan tempuh-saut setipis lamat gedebog-gedebog pisang

Catatlah!
Kantor-kantor bukan badan prediksi
Tepat mujur, melesetpun tetap mujur
Lembaga-lembaga bukan tempat bersesaji
Terkabul syukur, tertolakpun harus ada tasyakkur
TPS-TPS bukan kotak amal
Kertas-kertas bukan lembaran togel

Kutatap masa depan sepi akan nasehat-nasehat
Kebijakan-kebijakan seperti bau kentut!
Dan semua pandai menganggap
Yang anggapan yang logis
Yang prediksi yang masuk akal
Yang dibincang ialah segala yang 'menjadi'

Aku di sini!
Kalian di sana!
Maka, bolehlah aku berkata
Karena boleh tidak cukup dengan 'iya'
Karena boleh adalah stempel-stempel
Karena boleh adalah kewajiban
Karena boleh bukan lagi hak dan kebebasan

Kubiarkan dinding itu tetap tegak
Memetak lapisan-lapisan
Menyekat kata dan kasta
Lalu aku bersembunyi
Seperti anak kecil di balik tembok-tembok tua
Aku akan berkata saat mereka terpejam
Menghentak saat mereka lena
Lalu kita tertawa


Wednesday 8 April 2009

Sajak Contreng


Pagi ini..
Gedung-gedung sekolah terkunci
Papan-papan tulis, kursi, meja, dan segalanya
Berserapah!

Pagi ini..
Burung-burung ngemil tanpa was-was
Di setiap tangkai
Di sepanjang pantai, pesisir, dan rawa-rawa
Layar-layar terlipat lusuh!
Kerbau, sapi, dan kambing-kambing memamah pilu!

Pagi ini..
Pedal-pedal tak terkayuh
Cangkul dan caping menjadi ejekan alap-alap
Seragam-seragam menjadi asrama lalat-lalat comberan

Telah kuhitung detik-detik pada setiap jarum jam
Kutambahkan
Kulipatkan
Namun layar kalkulator terlalu sempit
Angka-angka habis pada bilangan Nol
Rekapitulasi nanar
Tidak ada keuntungan!
Sedang kerugian pun tak diperhatikan!

Hari ini..
Becak, ojek, kereta, bus-bus...absen
Panji-panji bernomor berkibar
Dan sang saka?!
Hilang entah dimana...

Nusantara biru
Nusantara merah
Nusantara putih
Nusantara kuning
Nusantara telah berwarna
Dan bernomor!

Hari ini..
Setitik tinta tentukan bangsa
Konon mereka tengah menuliskan nasib-nasib
Bukan aksara-aksara

Jaka Edan
09 April 2009

Surat Pungkas Zacky


Jaka Edan yang lugu,

Telah kubaca sempurna lembaran-lembaran yang kau titipkan untukku. Aku akui kau pandai menyusun kata. Setidaknya aku bisa merasakan bahwa apa yang kau tulis tidak akan pernah sanggup kau ucapkan. Kuamati kau, dalam 6 lembar suratmu, seolah tengah berceloteh. Mungkin juga kau tengah merajuk. Atau, kau sedang jujur dengan segala yang terlintas di hati. Ia seperti petikan-petikan senar gitar. Menembus seruang hampa hatiku. Saat airmata menenggelamkanku dalam kepedihan, kau ulurkan temali. Dengan begitu, kembali dapat kuhirup nafas. Namun, jangan lalu kau menganggap dirimu sebagai pahlawan. Karena kehidupan berjalan tidak seperti air. Dan kamu, aku, atau sesiapa saja telah mengerti akan irama dunia yang kini mengulun masa. Bukan lagi dunia kapitalis.

Satu hal yang sulit kau pahami: tidak semua harus kau sampaikan panjang lebar. Mungkin kau tengah sok filosofis. Aku akan terus mencoba menghargainya. Dan kau perlu sadar, diksi yang kau gunakan samasekali tak kukenal. Pada kesempatan tertentu, kecerdasan memang seperti ilham. Atau, ia lebih layak disebut kebetulan. Peka terhadap ‘yang tak terduga’. Sehingga memang pantas disebut ke-be-tu-lan. Ya, dan kau tak perlu mengagumiku sebagai yang tahu akan banyak hal. Jika aku lebih sering menggunakan diksi oratori forensik, itu karena memang yang aku suka. Tentu akan kontras dengan kamu yang lebih suka berorasi gaya deliberatif.

Jaka, bingkai lukisan nama yang kau toreh dengan tinta mega telah kuterima. Aku tersanjung. Pernik kilat cahaya, satu dua bintang, membingkis secarik namaku yang kau tulis. Entah seberapa lama kau pampang bingkai ini di hadapan cakrawala, di depan gereja puncak Turisinai. Sehingga nampak bercak-bercak malam tebarkan sendu. Mungkin kau telah menduga. Berarti sebuah kabar gembira bagiku; ke-edan-anmu kian reda. Tapi,

Jaka Edan, tak kusangka kau benar-benar edan,

Mungkin kamu tidak pernah menyangka bahwa, apa yang kau sampaikan sangatlah mengejutkan. Namun, lagi-lagi kita berada di dunia nyata. Dunia yang telah dipenuhi oleh kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan-kepentingan. Oleh karena itu, perlu sesekali untuk berfikir praktis. Ya, praktis! Tahukah kamu bahwa umur perempuan tidak sepanjang umur kaum lelaki?! Ini penting untuk kau mengerti. Dengan begitu, maka sekian persen kamu telah menghargai seorang perempuan. Gadis, tepatnya.

Kau gemar menganggapku seolah kupu-kupu. Karena ia identik dengan kecantikan, anggun, dan lembut. Sebagai gadis, aku tak perlu malu untuk mengakui bahwa aku tersipu, bangga, dan tersanjung. Namun, kau lupa menerka; sejauh apa kupu-kupu itu terbang? Ia tidak cukup tenaga untuk mengarungi samudra. Atau ia benar-benar tidak berumur panjang (?). Seperti aku. Ini bukan persoalan tradisi seperti yang kau duga. Tepatnya, bukan semua disebabkan oleh karena tradisi yang telah memasung kaum perempuan. Memang, perempuan tercipta seakan untuk ‘dimiliki’. Dengan begitu, kau akan mudah menuduhku sebagai ‘yang terbunuh’. Aku akui bahwa menjadi ‘yang dimiliki’ memang sangatlah berat. Sakit. Tersiksa. Dan kau sepakat: itu hanya dialami oleh perempuan-perempuan abad lalu. Perempuan-perempuan gundik. Atau, sebagai istri sah pun tidak mempunyai hak banyak. Saya tidak sedang memperebutkan hak. Akan tetapi sejarah menuliskan: perempuan adalah kaum tertindas. Bukankah kau pernah menuliskan email yang berisi pujian-pujian terhadap sosok Nyai Ontosoroh? Kau deskripsikan bagaimana seorang nyai-nyai memiliki keberanian dan keteguhan guna mempertahankan hak. Aku masih ingat kau menyebut novel yang kau kagumi itu: ‘Bumi Manusia’.

Tidak Jaka, aku tetap memiliki cita-cita. Dan aku pun selalu mempertahankan hak, sebagaimana aku menjalankan kewajiban-kewajiban. Aku tidak akan dimiliki secara sempurna. Saya harap kau tidak terlalu bodoh memahami kata ‘dimiliki’. Meskipun akan ada seorang lelaki yang meminang, lalu membawaku dalam tandu pengantin, aku akan lega menjadi seorang istri. Bukan yang ‘dimiliki’. Kewajiban-kewajiban sebagai seorang istri tentu akan aku jalankan atas dasar cinta dan keikhlasan. Karena perintah-perintah bukan perkara wahyu yang tak mengenal dialog, atau kompromi. Maka, tentu aku akan tetap lapang menerima hak-hak yang semestinya aku dapatkan.

Jaka yang tak akan pernah waras,

Mungkin kau telah lebih dulu dewasa dariku. Tapi, dalam umurku yang tidak seberapa lama, aku telah lebih dulu mengerti. Boleh saja kau mengusung segudang kata puja, kagum, dan cinta. Aku juga akan menghargai segenap cinta yang kau persembahkan. Sekali lagi, cinta bukan sekedar perihal hati. Janji dan kepastian-kepastian pun jangan kau anggap sebagai bukti kesetiaan. Kepastian yang sesungguhnya, bagi seorang perempuan—setidaknya bagiku, ialah detik dimana kau datang untuk meminang. Lalu, dalam jeda yang singkat kau berikrar di depan penghulu dengan penuh tanggung jawab. Dan lagi, pernikahan bukan perkara sederhana. Kau tidak perlu pura-pura tidak tahu.

Saya yakin kau masih, dan akan senantiasa mengingat hari itu. Dan aku juga telah mengira akan kepolosanmu. Cukup mengherankan, kau tetap teguh dalam kebodohanmu. Karena sejak awal aku telah mengira: kau tidak banyak tahu perihal cinta. Maka, dalam surat ini aku akan sedikit mengguruimu. Tentu aku memiliki tujuan. Ya, tujuan yang—bagiku—sangat mulia: agar kau tidak mudah menganggap perempuan sebagai makhluk keji. Kusangka kau cukup cerdik dan jeli membaca kisah cinta Annelis. Paling tidak kau tidak mudah terjebak hanya pada cinta yang begitu mendalam, dan tidak mengenal kasta. Sengaja saya ibaratkan dengan kasta, karena masa dimana Minke tergila-gila dengan Annelis ialah masa dimana kasta sangat penting. Ia mampu menoreh takdir. Keinginan-keinginan pupus ditelapak kaki Ayah. Atau, segala mimpi akan tergilas dalam tangga piramida sosial. Semisal kasta yang terbentuk bukan hanya oleh garis suci keturunan, ekonomi juga sangat menentukan. Ternyata, kau pun tidak memahami bagaimana perasaan cinta Annelis yang kaya raya itu terbentuk. Kau terburu menganggapnya muncul laiknya ilham. Ilham, ilham, dan ilham. Oh, God…betapa gegabahnya dirimu, Jaka. Ingatkah kau bagaimana sang kakak kandung Annelis, Robert, memperlakukannya? Adakah kau alpa pada baris-baris dimana Pramudya, sang penulis, melukiskan kemurungan Annelis? Ah, kau tidak sungguh-sungguh dalam membaca novel itu. Kau hanya sok tahu, dan mengandalkan brainstroming saja. Lalu predicting, dan tergesa masuk dalam kemelut cinta yang memang mencekam. Ingat! Yang kau baca adalah novel, tetralogi, bukan berita atau kolom yang selalu sok cerdas dan tangkas.

Baik, semoga dalam ke-edan-an kau masih sanggup berfikir,

Jujur, dengan susah payah aku menulis surat ini. Otakmu lamban. Hatimu juga telah pekat. Mestinya kau menyadari, dan peka. Politis, sebutlah begitu. Karena cinta adalah kompetisi. Bukan lalu karena kau kere, sehingga tidak sanggup memasang slogan-slogan, pamflet, atau negoisasi sana-sini. Bukan pula karena kau tidak pandai berorasi, sebagaimana mestinya seorang politisi. Tapi, yang kau perebutkan adalah kehidupan. Sisa-sisa umur seorang gadis, tepatnya. Umur 23 tahun, bagi seorang gadis, jangan kau samakan denganmu pada umur yang sama! Pada usia ini seorang gadis tak ubahnya seorang kakek yang telah ompong, renta, pikun, dan sakit-sakitan. Dan kau tidak bisa memenangkan kompetisi itu! Tentu karena sekarang aku telah bersuami, Jaka. Suami yang tak segan membelai, memanjakan, pun dengan sepenuh hati mengayomi dan melindungiku. Perlu kukatakan ulang, bahwa aku bukan budak tradisi. Meski kadang telingaku panas, risau, oleh bisik mereka; ‘Lihat! Mahasiswi, 23 tahun, kok belum mempunyai calon,”. Ah, kau memang perlu banyak membaca ilmu psikologi dan ilmu-ilmu sosial. Sehingga kau sanggup membaca seperti apa, bahkan mungkin bagaimana mestinya masyarakat kita.

Jaka, ini adalah kali terakhir. Sebuah jawaban. Aku menulisnya dengan penuh kepedihan. Bagaimana tidak?! 10 menit yang aku luangkan menjadi tidak bermakna. Samasekali! Kau tahu? Harusnya dalam 10 menit aku telah mengembara. Berkeliling dan singgah pada setiap keindahan. Tentu bersama suamiku. Bukan hanya gereja lapuk Suncatrine dimana kau mengharapkanku hadir, dan menyaksikan mentari terbit. Ya, aku dan kamu. Tapi, berhentilah bermimpi. Atau hentikan semua sajak, puisi, dan cerita-ceritamu. Tentu, dalam alam pikir dan imaji kau pun telah sampai bumimu sendiri. Kau injakkan kakimu, lalu kau bersajak tentang bumi. Dunia-dunia sajak. Keberanian dalam sajak. Kesetiaan dalam sajak. Kebijakan-kebijakan dalam sajak. Namun perlu, dan harus kau catat tebal-tebal: bagi seorang istri, suami bukanlah janji, atau bahkan sebatas sajak!

Buatlah sebuah lukisan. Untuk dirimu sendiri. Atau, tulislah sebuah kaligrafi. Di sana kau akan mencatat kata singkat: ‘aku tertipu”.

Selamat tinggal wahai sang Edan,

Zacky


Sang Narator


Pelan kau iris gelap. Mesra. Sehingga jerit gulita samar. Tidak terdengar samasekali. Paruh tubuhmu merah. Seperti merah darah, namun penuh pijar. Puluhan, ratusan, hingga ribuan perawan berduyun kemudian. Berdendang di tepi telaga: Sebuah kubang air jernih, dan dipagari cemara-cemara. Pun ragam sekar yang tak pernah mengatup. Telaga Perawan, demikian legenda menyebutnya. Konon bening airnya mampu melipat masa: tidak ada tua-muda. Hanya ada belia.

Pilu menusuk. Satu dua bulir menitik dari sudut mata. Gerimis mendesah. Tanpa resah. Dan pak Tua akan semakin girang melanjutkan cerita sembari menunjuk: “anak-anak, lihat! Bidadari-bidadari itu tengah mandi,” ucapnya. Lalu semua tersipu oleh bayangan masing-masing. Nampak 3 kawan perempuan malu. Mereka mengulum dalam senyum-senyum kebocahan. Mungkin masing-masing tengah menjadi bidadari, tuduhku. Sementara 2 kawan laki-laki semakin mengawan. Dari mata dan mimiknya, mereka tengah girang dalam khayal.

Aku geram. Pak Tua selalu enggan menurunkan bidadari-bidadari itu dari tempat yang ia cipta. Kenapa?, tanyaku, tidakkah pak Tua mendamba kecantikan, keindahan, dan kemolekan?. Ah, dan benar Pak Tua tidak akan pernah menjawab. Dan akan selamanya enggan untuk membiarkanku sekedar mengenal, atau mengucapkan kekaguman.
Lalu semuanya menyanyi seiring aba dari Pak Tua:

Pelangi-pelangi… betapa indahmu
Merah kuning hijau…di langit yang biru


Di kemudian hari, aku tak lagi perlu bertanya. Pada Pak Tua sekalipun. Karena ia telah mati. Beserta bidadari-bidadarinya.

Kini aku berani mencibir pak Tua. Tidak perlu khawatir kualat! Karena di depanku gedung-gedung mall menjulang bertingkat. Gedung-gedung yang benar-benar dapat kuraba. Aku tidak lagi mengitari telaga-telaga gemerlap, dan tersipu oleh wewangian. Hingga kemudian aku, seperti kawan-kawan yang lain, hanya dapat bernyanyi memuja kahyangan. Mengiba pada bidadari-bidadari yang tak pernah kukenal. Alam yang mungkin hanya sebatas tempat singgah bocah-bocah seumurku. Karena hidup perlu cita-cita, kata Pak Tua, dan dengan cerita-cerita mungkin kau akan mendapatkan harapan.

Aku mengenal gincu sebagai perempuan. Aku menghirup parfum-parfum, seperti bunga ‘Telaga Perawan’ Pak Tua yang tak pernah mengatup. Dan kulihat puluhan, ratusan, bahkan ribuan bidadari. Semuanya mewujud dalam bentuk perempuan. Mereka tengah bernyanyi, bersorai, bercengkerama. Di café-café mall yang aku singgahi. Di sepanjang jalan. Bahkan di sudut-sudut gang. Televisi, koran-koran, majalah-majalah, dan sejumlah media, tidak seperti Pak Tua yang selalu berbelit. Hingga aku mengerti: bidadari-bidadari adalah perempuan. Tidak perlu berbelit. Karena mereka telah lebih jujur.

Melalui Hp, Internet, Video-video, aku mengetahui bahwa perempuan bukan hanya lawan kata lelaki. Nyatanya masing-masing memiliki kelamin beda. Ah, sejak kapan aku mengenal kata kelamin! Bahkan aku telah berani mengklaimnya sebagai pembeda intim antara lelaki dan perempuan! Tentu pak Tua marah! Dan aku akan ditamparnya jika berani melontar kata-kata itu. Dan tidak akan pernah terfikir samasekali. Karena aku hanya merindu keindahan! Dan aku geram oleh laku Pak Tua yang berbelit. Sampai kapan ia akan membuatku lena? Sementara aku berharap, ya, berharap agar keindahan menemani di sepanjang sadarku. Bidadari-bidadari telaga itu, tentunya.

Dan kini, film-film itu telah lebih lihai. Ia tidak sekedar bercerita, lalu menawarkanku ragam simpul khayali. Ia tengah berlagak. Bukan sekedar laku pantomim. Dan ia memiliki perempuan-perempuan. Seperti bidadari-bidadari dalam cerita Pak Tua.
Konon film-film itu tengah bicara: mencibir pasar-pasar kotor, menyindir kecongkakan para juragan dan tengkulak, mencela perut pejabat yang kian tambun. Namun begitu, ia adalah satu dari sekian kreatifitas seni. Ia perlu ruh, kata seorang sinematografis, “oleh karena itu ia perlu ‘bumbu’ agar tidak kaku,” terangnya. Namun begitu, aku tidak pernah mendengar Pak Tua bercerita tentang kemolekan. Tentang tubuh. Tentang kelamin. Alih-alih senggama Nabi Musa dengan putri penggembala yang dinikahinya:
“Kambing-kambing gembalaan putri Ya’qub mengembik lantaran terik. Kadal-kadal gurun pun merangkak girap menuju sebalik rumput. Sang putri gelisah. Dan Musa pun akhirnya mengerti. Keduanya bertatapan sejenak..”

Belum usai narasi Pak Tua, Narti menunduk-malu: sok tahu. Pun Narto, kakaknya, yang kemudian tertawa ringan. Seperti aku yang berusaha menebak, meski terpapas segan. Sedang Parjan diam-diam melirik Narti yang memang lentik. “Ah, bocah 8 tahun tau apa,” batin Pak Tua sembari terkekeh penuh wibawa, teduh. Ia benar-benar memahami bahwa ada semacam insting yang akan dibimbing oleh alam. Bukan oleh cerita, sehingga mereka piawai. Begitupun layaknya seorang narator handal, pak Tua mengerti bahwa jiwa, hati, nalar, dan insting, merupakan salah satu pintu masuk sebuah pesan. Maka, Pak Tua pun menyentuhnya;’Lalu mereka jatuh cinta,’ singkatnya, lalu terburu kembali pada cerita kegigihan dan ketabahan seorang Musa.

Pak Tua telah mati. Pergi, bersama bidadari-bidadarinya.

Nur resah. Anak semata wayang, Rida, telah lebih pandai bernyanyi. Sekali-duakali ia pamer rancak goyang. Perutnya lentur, hingga mampu mencipta semacam gerak mematah. Enerjik, sehingga tidak sulit untuknya berputar-meliuk tak ubahnya bor kayu. Bayangkan! Rida lahir 7,5 tahun yang lalu. Dan ia pun telah mengenal gincu.
Aku menikah dengan Nur 10 tahun yang lalu. Saat usia perkawinan menginjak 1,5 tahun, Nur mengandung. 2 tahun kemudian, dalam temaram sayup kudengar Pak Tua bercerita padaku. Bukan tentang ‘Telaga Perawan’, atau tentang bidadari-bidadari. Lalu akupun bertanya;

“Pak Tua, cerita apalagi yang hendak kau sampaikan?”
“Tidak, ngger, kali ini bapak ingin mendengarmu bercerita,”
“Kenapa? Tidak! Aku tidak pandai bercerita,”
“Ya, karena bapak telah melihat, menemui, dan menjamah bidadari-bidadari itu,”
“Bukankah itu yang Pak Tua inginkan?”
“Baik. Jika memang begitu anggapanmu, bapak ingin bertanya; adakah perempuan-perempuan bidadarimu, yang telah kau jamah, atau semua yang mungkin kau raba, membawamu pada keindahan seperti yang kau rasakan selepas mendengar cerita ‘Telaga Perawan’?
“Apakah Pak Tua juga akan menanyakan pertanyaan yang sama pada si Narti?”
“Sayang, kamu tidak sempat menjadi seorang Narator. Sutradara pun tidak. Jangankan menulis sekenario, atau cerita. Maka, kamu tidak pernah merasakan kepedihan-kepedihan mereka. Juga seorang Narator..”
“Kenapa? Merasa berdosa karena telah menipu pendengar, penonton?”
“Justru karena mereka tidak tertipu, lalu menjadikan tokoh sebagai puncak harapan dan yang harus ditiru, sang Narator sedih. Ia merasa telah membatasi, dan membunuh para pendengar, penonton, sehingga mereka tak lebih dari bonek-boneka. Atau, seperti wayang yang tak mampu menulis cita, keinginan, dan harapannya sendiri, dan sebaik mungkin,”

Pak Tua beralih. Ia tak nampak lagi. Sejenak aku masih berfikir. Dan saat gelap menjelma menjadi alam yang tak pernah aku kenal, aku hanya bisa berbisik:Oh, Rida…seandainya bapak sempat bercerita, akan aku sampaikan sebuah cerita ‘Singgasana Putra Mahkota’ padamu.[]

Jaka Edan
Selasa, 8 April 2009


Wednesday 1 April 2009

Teruntuk Senja

Aku celupkan pena pada semangkuk mega
Di atas sebidang senja
Di atas gelombang awan kemuning
Kutuliskan sebuah nama
Lalu cahaya emas solek bibir remang
Senja, jangan kau terburu lelap!

Aku celupkan pena pada semangkuk mega
Saat remang kian menggenang
Saat obor-obor Badui memudar
Dan kulihat oase-oase tak lagi bergeming
Kubingarkan gereja kelam di kuncup bukit gersang
Senja, lenggamkanlah sepatah kata!

Gumintang luruh
Semaikan sajak rindunya di atas ranting korma
Jemari musim gelitik pori gemunungan pasir
Dan cadas-cadas lantak oleh jerit tangis mayapada

Senja, dengarlah…
Saat remang berpapas dengan gulita
Tiadakah semburat putih kau dapati
Sebelum ia samar dan menjadi bintik awan?

Jaka Edan
01 April 2009

Sunday 22 March 2009

Karya

Aku berdiri di atas sebongkah batu hitam, lapuk. Tampak jelas ada lapisan yang mengelupas, seperti kulit pohon jambu yang kering, mengeriput, dan esok ia halus seakan kulit bayi. Tidak sendiri, dan aku hanya mampu mengukur sebilah batu yang ada di bawah telapak kaki. Lebih satu senti dari itu, toh karena memang alas kaki yang kukenakan terlalu besar. Tepat di depan mata; tengkuk yang telah menghitam, basah, dan menawarkan bau yang sungguh tidak enak. Kanan, kiri, hanya ada ketiak-ketiak yang tentu lebih busuk baunya. Jangan tawarkan aku ke arah belakang, karena tentu akan ada umpatan yang sama. Hanya saja rambut kepala bagian belakang selalu kubiarkan memanjang.

Ada lirih denting membias dan menusuk gendang telinga, seperti ketukan tapi tak berjeda samasekali. Bukan lagu, tidak ada huruf yang kudengar jelas, bukan nyanyian. Kudengarkan betul, hampir jelas, tapi..ah, suara itu kembali samar; mungkin tercerap keringat busuk itu. Atau nada yang kudengar samar tengah membuatku galau, penasaran?
Aku tidak ingin menebak, atau apapun namanya, yang jelas semacam menarik masa depan dan ‘yang akan terjadi’ menuju ke masa sekarang, dan terjadi. Bukankah sederhana? Bayangkan kamu sedang menimang seonggok bayi, lalu jatuhkan, atau terserah, yang jelas lakukan apa yang mungkin membuat puas. Maka, tidak banyak pilihan; hanyut oleh senyum imut si bayi, atau kamu akan lebur dalam kepuasan itu. Dan begitu pula dengan tebakan.

Kini aku setengah tidak yakin, bimbang, penasaran tak lekas hempas. Seperti pedih, atau rasa berbunga oleh sebuah tebakan. Tidak, sekarang ini aku benar-benar merasakan debar, ya, dan bukan dalam ‘penantian’. Aku benar sedang mengalami, dan tidak ingin melewatkan. The universe will never look the same again, kata Einstein. Dan akan kucatat segalanya dalam otak: tengkuk berkeringat nan bau, aroma ketiak yang telah lebih dari sekedar busuk, dan bunyi samar itu. Bukan dengan angan yang muluk, melukiskan cerita untuk anak-cucu misalnya. Sepele; meyakinkan diri bahwa aku pernah ‘ada’, eksis.

Di atas sebongkah batu hitam, kampung ini bukan layaknya sekelompok ikan kirana yang beringas. Perlahan terus mengalir, setapak demi setapak, dan suara itu kembali muncul samar. Penasaran semakin kuat, tapi bau keringat membuatku ingin muntah. Sesekali aku harus bertanya; kenapa?. Di kali yang lain aku mengadu dan memohon. Lalu aku berfikir, tentang ‘ada’, kemudian tentang ‘asal’.

Kehidupan adalah ekspresi Sang Pencipta

Ekspresi, apakah semacam rona memerah yang timbul saat marah atau malu? Atau dalam gerak meringkuk, lucu, menggemaskan, atau bagaimanapun, seperti kucing betina dewasa dalam timang si empunya? Apa yang ditulis dalam ‘sejarah “wujud’ oleh al-Asymawi memberiku sebuah imajinasi; ‘kehidupan’ sebagai ekspresi yang wujud, mencuat dari muara kehendak Sang Pencipta. Ya, kehendak dan kuasa untuk mencipta. Maka, kehidupan—sebagai ekspresi—‘ada’; tercipta.

Bunyi muncul lebih jelas, hampir seperti simpul suara, namun belum lagi aku mampu mendikte huruf dan nadanya. Sekarang aku perlu untuk tengok kanan-kiri, mencari celah, menelusup dalam himpit, menyela, tapi mual tak tertahan. Hueek..! akhirnya aku muntahkan. Entah berapa pasang mata yang memicing, mengutukku, bukan tidak peduli, namun aku betul menikmati rona wajah mereka; marah, jijik, sinis, bahkan ada yang memukul, meludah, pun memegang penuh kasih, tak ubahnya kucing betina dewasa itu; lucu dan menggemaskan tatkala dalam timangan. Ingat, tatkala; semacam isyarat ke-se-mu-an, ada limitarisasi ruang dan waktu. Tidak beda dengan ekspresi mereka yang timbul oleh kehendak; baik dengan alasan, atau tanpa sebab sekalipun.

Al-asymawi mengerti betul tentang kehidupan; ekspresi Sang Pencipta. Perlu digaris bawahi kata ‘mengerti’, ini bukan hanya sebuah capaian-capaian agnostik, bukan sekedar ketundukan materialis-empiris. Namun ia bangkit, bergerak, merangkai, lalu bernafas dalam jeda, dan akan berlanjut. Putra negeri Seribu Menara ini faham betul akan adanya diferensiasi ‘lintas’ antara ‘Yang abadi’ dan batas kuasa ‘ekspresi’ yang merupakan bentuk kata verba finit. Dan ia tidak perlu jatuh terbungkam pada jurang ‘perebutan’ otoritas.

Eksistensi adalah ekspresi kehidupan
Kreasi adalah ekspresi eksistensi

Di sini terlihat tuntutan adanya gerak, upaya, karena eksistensi bukanlah partikel yang diam, mati. Ia memiliki ruang dan batas efloresentif-nya sendiri. Seperti tumbuhan, kupu-kupu, embrio, dan kucing betina itu.
Sang Pen-‘cipta’, ‘kreasi’, Ia begitu lihai dalam memilih diksi, tidak terjerembab dalam problema sintagmatis, meski ada sedikit singkope. Namun, ia lebih terlihat seakan seorang ahli logika yang tengah mansyuk dalam hitungan matematis sebuah preposisi.

Aku berdiri di atas sebongkah batu hitam, lapuk. Bukan sejenis batu ajaib seperti yang telah merenggut masa kecil Ponari, bukan batu apung yang mengambang dan ragu, bukan pula batu besar layaknya dalam cerita Yunani Kuno; Shisipus. Kini semuanya duduk bersila, membentuk semacam lingkaran nan lebar, dan bunyi itu telah terberai dalam huruf-huruf, lalu terajut dalam suara; seperti denting yang sangat kuat, atau lonceng wahyu yang sungguh menggetarkan. Batu ini seumpama padang Mahsyar, tempat dimana masing-masing menanti ucap bijak Sang Kuasa dan Maha Adil. Ia bukan lagi bagian dari semesta yang menjadi ruang kehidupan, karena masing-masing tengah limbung dan tak mampu lagi berekspresi.[]


Saturday 21 March 2009

Perempuan, titik!

Hari I

“Ceritakan padaku tentang kecantikan,”
“Tidak”
“kenapa?”
“Karena kecantikan serupa pamflet,”
“Bangsat!”
“Kenapa kau murka?”
“Karena aku perempuan.”

Brraak..!!

Hari II

“Katakan padaku perihal kelembutan,”

Aku diam.

“Katakan! kenapa diam?”
“Karena kau perempuan!”

Kamu tak lagi mendesak. Di depan mataku ada dua puting kecoklatan. Sama seperti milikku, namun dadamu lebih besar dan membusung. Liontin tergantung manis di atas kulit putih, dan lamis. Sorot matamu tajam, namun terburu teredam oleh bulu mata yang tebal dan lentik. Dan, ah, kamu sungguh tidak pernah memperhatikan rambut yang bercukul di teras kemaluanmu sendiri.

“Kau pertaruhkan semua ini hanya untuk mendengar jawabanku?”
“Untuk jawaban! Hanya itu!”
“Ya, untuk jawaban! Tapi kenapa harus telanjang? Bukankah kamu selalu merawatnya, untuk kemudian kamu banggakan?”
“Bangsat! Jangan berbesar hati, aku telanjang hanya untuk memecah anggapanmu,” jawabmu ketus.
“Tapi aku laki-laki!”
“Ah, kamu sungguh sama seperti lelaki lain. Impoten!”
“Anjing! Kamu menuduhku?!”
“Kau merasa sebagai lelaki, seketika saat ada perempuan!”
“Tentu, karena aku lelaki. Normal bukan?!”
“Normal katamu?!”

Cuih..!! Kamu meludah.

Limbung. Kamu benar-benar mempertanyakan kelelakian. Aku tersudut, dan sulit menepis. Wajahmu cengar, menyala penuh emosi. Tidak! Kamu tengah mengolok dan mencaci dengan bingar. Kamu senang. Kau cipta seruang penjara nan pengap, meludahi, bahkan kencing tepat di mukaku: “Penindas! Pencari kepuasan!” cecarmu. Lalu kamu beranjak dengan membawa kepuasan tak terkira.

Hari III

“Apalagi yang hendak kau tanyakan?”
“Tidak”
“Lalu?”
“Kamu belum lagi menjawab pertanyaan-pertanyaanku,”
“Kenapa harus aku?”
“Karena kamu lelaki, dan bukan aib untukku telanjang di depanmu.”
“Saya tidak pernah memintamu telanjang!”
“Ya! Tapi, kamu selalu menyembunyikan jawaban di balik keperempuananku.”
“Oh...jadi, otak kamu sembunyikan di antara lipat selangkangan? Sejak kapan?!”

Kamu tidak langsung menjawab.

“Jangan kau tanyakan itu, aku tidak mungkin menjawab,”
“Malang nian! Kamu benar-benar hidup sebatangkara. Dan nasib burukku adalah tidak sempat memiliki mertua,”
“Kamu tidak perlu mengejekku sejauh itu. Akui saja bahwa kita hidup dalam tatanan moral, dan norma,”

Suaranya redam. Ia lebih seperti belatik betina yang malu, namun menunggu oceh rayu pejantan dalam diam. Sesekali ia berpura mengibaskan ekor, seakan memperlihatkan pantatnya yang sintal.

“Sekarang, jawablah pertanyaan-pertanyaanku itu,”
“Jika saya menjawab dengan jawaban yang sama?”
“Apa? Pamflet maksud kamu?! Lalu kamu anggap aku apa?”
“Perempuan, titik!”
“Ah, kamu sungguh membingungkan!”
“Bukan saya yang membingungkan!”
“Lantas siapa lagi? Kamu memang selalu ingin menang!”

Galau. Kamu benar-benar mendesakku. Kemarin kamu telah menghina kelelakianku. Impoten!, cemoohmu kasar. Bagimu, aku adalah budak nafsu, pemuja muara kenikmatan yang kamu miliki. Entah, mungkin kamu tengah membayangkanku seolah kutu yang suka menelusup di antara rambut kumal, dan bau. Lalu, dengan leluasa menghisap darah, dan puas.

Hari IV

“Katakan padaku perihal ketampanan, dan kejantanan,”
“Tidak!”
“Kau sedang membalasku?”
“Bukan,”
“Lantas?”
“Karena kamu lelaki. Itu saja!”
“Kita pernah sepakat bahwa, kita terlahir di tengah kuasa moral dan norma,”
“Ah, kamu sungguh pengecut!”

Gusar.

“Jangan pikir aku mengharapkanmu telanjang, dan membuktikan bahwa ‘anu’-mu hanya sebatas simbol. Persis seperti gantungan kunci.”

Kamu terkekeh. Aku belingsut.

“Sejak kapan kamu gila?!”
“Sejak moral, norma, dan anggapan, melukiskan imajinasi dan kehendak di atas keperempuananku.”
“Kamu bercita-cita mengganti kelaminmu?”
“Kamu menawarkan untukku menjadi kuas, lalu dengan leluasa melukis di atas kertas putih keperempuanan?”
“Sudah, kita tidak perlu plagiasi terhadap anggapan-anggapan masa lalu itu.”

Kamu tercenung cemas.

“Kamu tidak perlu orasi untuk mencari dalih akan kecantikan dan kelembutanmu. Karena kamu adalah perempuan. Itu saja.”

Seakan belatik betina, kau kibaskan sayap tawarkan kemolekan. Dengan sedikit ragu, kau gerakkan ekor perlihatkan sintal pantat. Dan aku adalah lelaki.


Saturday 14 March 2009

Lembaran I

“...sesekali perlu untukku merindukan seperti; hamparan sawah; padi yang menguning; dan tanah sawah yang bercelah pada musim kemarau. Lingkungan yang telah membesarkanku.”
--Jaka Edan--

Aku tidak membenci saat ia tak pintar menyembunyikan kebohongan. Aku hanya tidak suka dengan segala kepura-puraan. Bahkan ia boleh saja mengambil sikap yang sama: “silahkan!”. Aku puas jika tiba-tiba ia muak dan meragukan semua yang pernah kukatakan. Dengan begitu aku bisa menikmati bola matanya yang membesar, kedua pipinya yang memerah, bibir mungilnya yang seketika berubah: lonjong, manyun, atau mengatup sama sekali. Bukan hanya itu, ia boleh saja jijik lalu melontarkan cacian: boleh jadi kata-kata kotor sekalipun.

Aku lebih nyaman saat harus mengaguminya tanpa bersandar pada naluri kejantanan. “Tentu kamu tidak menyukai lelaki impoten,” pikirku. Dan aku mengenalnya sama seperti perempuan yang lain: perempuan yang tidak pernah menerima pujian dari perempuan lain sebagai sebuah ungkapan kekaguman seutuhnya. Bahkan untuk hal satu ini, perempuan merasa perlu akan adanya persahabatan intim.

Sesekali aku pernah mengatakan pada kawan karib, Bajul namanya, saat ia bertanya tentang perempuan: “ aku lebih menyukai perempuan dengan rambut tergerai, agak panjang, semampai, betis yang tak begitu besar sehingga aku bisa tahu bahwa pinggulnya betul-betul berisi.” Dan di kali yang lain aku juga pernah mengatakan bahwa aku mengagumi perempuan berbibir tipis dan merah. Tidak pernah sama sekali hal ini kukatakan padanya: tentang fisik, tentu perempuan lebih menyukai ungkapan metaforis. Dan dengan kata-kata yang sedikit hiperbolis, bahkan perempuan akan tersudutkan: menampik dan menganggapnya rayuan, atau secara diam-diam mendamba rayuan itu untuk kembali difikirkan. Tentu tidak semua perempuan.

“Kau lebih banyak termenung, apa yang sedang kau fikirkan?”
“Yang jelas bukan memikirkanmu.” Tandasku, lalu tertawa.
“Bangsat!” Bajul tertawa dengan raut sedikit malu. “Bilang saja kalau kamu sedang mengagumi perempuan itu.”
“Ah, siapa lagi? Kapan kamu lihat aku bertemu dengannya?”
“Tidak perlu,” ia mulai memaksa, “melalui apa yang kamu dengar tentangnya, mungkin kamu telah memilikinya dengan utuh.”

“Anjing!” batinku. Kini ia benar-benar sedang mempermainkanku.

“Saya kenal dekat dengannya kok. Kamu cukup mengiyakan, dan tidak terlalu sulit bagiku jika harus..”

Aku tak lebih dari seekor jengkerik malang dalam sangkar yang telah ia bikin. Dengan mudahnya ia kini menggelitik, memancing amarah, mencemooh, dan bahkan dengan riang mengadu perasaan dengan kelelakianku.

“Saya belum berfikir sejauh itu,” aku terpancing, “tentu saya perlu keyakinan, atau kelak mungkin menyesal.”
Ia hanya tersenyum simpul: itu aku ketahui dari desis nafas yang mengiring senyumnya. Teras kost gelap. Sekalipun lampu dinyalakan, pasti saya akan muak melihat mimik wajahnya, atau aku akan berpaling agar tidak pernah melihatnya. Namun begitu, aku mempercayainya. Bahkan lebih dari beberapa pasang telinga yang kaku merias tubuh-tubuh yang tak lagi sadar itu. Memang kekhawatiran muncul kala sesekali kulihat salah satu dari mereka menggeliat. Dan aku langsung mengambil sikap; diam. Saat ini aku benar-benar menikmati kedunguan. Situasi yang mestinya aku benci.

Dini hari semakin sepi. Ia berdiri, melangkah dengan penuh kehati-hatian menuju arah membelakangi: ruang dalam asrama. Sesekali ia perlu melompati deretan tubuh yang telah lelap. Satu detik kemudian, tiada suara, hanya desir udara dini yang menghempas pelan rimbun beringin di depan sana. Hanya beberapa meter dari tempat dimana aku menatap sinis rembulan yang tergantung penuh kesombongan. Langit bening. Gumpalan-gumpalan awan berjalan runtun, tapi penuh keacuhan. Bayangan perempuan itu terus hadir: “ini sebuah kewajaran, atau ujian, atau bahkan ilustrasi setan?” pikiranku galau.

Kini Aku berada di sudut kamar. Duduk bersila menikmati sebatang rokok dengan penuh kekhawatiran. Sekaligus memberikan kenikmatan yang tidak akan kutemu di saat lain: Setiap hisapan memberikan arti kemenangan, lalu kesepuhkan asap dengan penuh bangga, lalu kusembunyikan lagi, ketakutan muncul, lalu sedikit mengikis, kemudian kuhisap lagi. Begitu seterusnya hingga hisapan terakhir. Jam menunjukan pukul 03.00. Bayangan itu kembali datang: wajahnya bersih, gigi yang tertata rapi, alis yang tebal, matanya tajam dengan titik hitam yang pekat, bentuk wajahnya oval. Lebih dari itu, aku tak bisa melihat lagi, kabur. Kemudian aku mulai menuliskan kekaburan-kekaburan itu dan mencoba membentuk diri-nya secara utuh. Tentu dengan mengumpulkan serpihan kata—tentangnya—yang pernah kudengar dari kawan, atau siapapun.

“Tidak tidur kah?”

Aku tidak langsung menjawab. Sisa puntung rokok yang kubidas pada asbak kecil itu masih menyisakan asap, dan bau apek; Lupa tak memberikan sedikit air pada potongan kaleng itu. Aku gugup.

“Saya sudah tidur sedari jam 11.00 tadi. Eh, mana korek apinya?”

Ia ulurkan. Seperti telah ada kesepakatan: korek api sama sekali bukan simbol keangkuhan. Meski selalu memilih yang ber-merk untuk menghindari kecerobohan, atau membuat segan setiap peminjam. Tentu tetap tidak akan sebanding dengan sebatang korek mainan anak gang remang, dimana lahapan api yang pelan dan menimbulkan retakan lirih itu memiliki nilai tukar tinggi. Bahkan di setiap incinya ialah obsesi, asa, birahi, kepuasan. Bayangkan kala mereka harus jongkok, lalu menungging, menyingkap rok perempuan: galau, malu, penasaran, perasaan mereka tercabik oleh gejolak. Kemudian mereka akan melihat ‘segalanya’ dalam durasi yang sama panjang dengan sebatang kayu korek. Pada saat-saat seperti inilah sebatang kayu korek menuai kekudusannya. Maka, tidak menutup kemungkinan mereka menemukan ejakulasinya masing-masing; sebuah kebanggaan dimana kejantanannya terbukti. Lalu, dengan penuh keikhlasan selembar uang ribuan mereka ulurkan.

Beberapa tahun kemudian aku tahu bahwa mereka hanya memiliki ketakutan-ketakutan, kegetiran-kegetiran, kekecewaan. Keinginan, keusilan, dan laku mereka diamati oleh ancaman, perisai negara, undang-undang. Dan pada dasawarsa yang sama, masyarakat pribumi bisa melihat melalui televisi-televisi: keimanan, moralitas, dengan sengaja dibentuk dengan segala yang menakutkan. Melalui film-film, mereka dapat menyaksikan seekor ular raksasa melahap Si sombong; ribuan kalajengking menyengat, dan memenuhi liang kubur Si kikir; bara neraka membakar hangus Si jahil; atau wabah menjijikan menimpa Sang koruptor. “Busuk!” batinku.

“Ada keinginan untuk tidak pulang, toh ini liburan terakhir.”
“Rencana kuliah dimana?” singkatnya dengan nada serius. Sempat kutangkap betapa ia menikmati hisapan rokok, sembari memainkan kepul asap dari mulut.
“Baru sebatas keinginan,”

Kuletakkan pena dan buku Harian, berdiri untuk mengambil sebatang rokok pada saku celana pendek di balik sarung. Kusulut, kemudian sudut ruang berukuran 4x6 meter ini berubah laiknya penuh mistis. Sinar lilin yang telah memadu dengan gumpalan asap melahirkan dua bayang hitam, besar, dan melekat pada dinding yang remang. Tak kalah pengap dengan kamar Pierre, suami Eve, yang dilukiskan oleh Jean-Paul-Sartre dalam kumpulan cerpen bertajuk “Dinding”. Kamu boleh saja menghina, mencerca, mengutuk, dan menasehatiku yang—mungkin—kau anggap tak lagi ingat akan pesan orang tua. Dan aku akan memutar memori, mendengar kembali Bapak yang pernah berkata: “kamu sudah cukup umur, tahu mana yang baik dan mana yang buruk.”. Atau kamu akan menganggapku sedang berada pada alam yang aku miliki sendiri. Dan kamu tidak harus tertawan dalam kebencian-kebencian yang merongrong.

“Aku ada keinginan untuk melanjutkan di universitas ternama, mengambil fakultas Sosial-politik, tapi mungkin 2 tahun mendatang.”

Kutemukan seakan diriku sedang membual, bermain dengan khayal, memikul keinginan dan menaruhnya pada alam imajinasi, tercapai, lalu puas. Sementara aku sadari bahwa ada semacam Aphesia dalam ingatanku. Terlampau sulit bagiku mengingat nama; orang, jalan, atau bahkan bukan hanya itu.

Aku tertawa ringan.

“Kemana dalam 2 tahun itu?”
Aku tidak menjawab, “kamu sendiri, apa rencanamu?”
“Tidak muluk, ujung-ujungnya juga fakultas yang berbau agama,” singkatnya sembari melirik ragu, seakan memberi alasan dalam bahasa isyarat, “ eh iya, bagaimana dengan dia?”

Kawan berdarah Madura dan berpostur tinggi kurus itu beranjak mengambil posisi, terlentang, menutupkan sarung pada muka yang tak sempat cengar. Kebiasaan yang sungguh lucu, namun menjengkelkan: tidur terlentang dengan hanya mengenakan sarung, tak lebih dari itu. Ia tidak sungguh bertanya, tak lebih hanya menyindir. Mungkin hanya ingin menabuh emosiku. “Asu!” tandasku kencang sambil menendangnya. Ia terpingkal sekejap, lalu lelap.

03.45.
Kucoba mengambil celah sempit di antara deretan kawan yang telah pulas, merebah, kedua mata masih nanar, dan pedih. 15 menit, atau kurang lebih 30 menit kemudian akan ada ketukan pintu bertalu. Lalu dalam jeda yang tak lama suara itu akan berubah menjadi irama: entah dengan nada jengkel, marah, atau sayang?. Dan aku akan terbangun sedetik setelah suara itu begitu dekat, seutas penjalin dengan panjang setengan meter itu mengena keras tepat di paha. “Anjrit!!” pekik batinku. Ia tersenyum ramah, lalu melewatiku. Dalam keadaan duduk, kepalaku menunduk, kembali terlelap. Sebentar kemudian, lenggam lantun surat Yâsin terdengar samar: ia telah kembali.

***

Asrama riuh. Terdengar dari kamar mandi, celoteh kawan menimbulkan suara-suara yang sama sekali tidak teratur: intonasi yang kadang melengking keras, kuat, lalu melemah, lirih, dan henyap. Dan dari pusat pemandian pesantren yang berada tepat, dan membujur di samping kiri asrama, terdengar riuh sesak. Liburan tiba.

Aku putuskan untuk pulang.

Tanpa harus menunjukan surat izin, hanya perlu tersenyum ramah sembari sedikit membungkuk memberi salam, kini dengan tenangnya aku telah berada di atas sebuah becak. Melewati pos jaga pintu utama. Menikmati seperti kebebasan. Dinding pembatas yang tinggi itu bukan jejaring jeruji besi yang memenjaraku. Bukan karena saking mudahnya menyelinap: hanya perlu pengalaman sedikit, dan kepura-puraan. Sudah aku tuturkan, bahkan berdiri di atas kursi di halaman pesantren dengan disaksikan ratusan pasang mata lebih aku sukai.

Ah, hamparan tembakau itu, tiga tahun lalu masih setinggi jengkal. Dengan mata sendu aku mengamatinya begitu asing. 1 Km pada arah berlawanan, ratusan perahu nelayan tertata rapi menanti petang. Sekarang ini telah terbiasa dan menyatu, sehingga sesekali perlu untukku merindukan seperti; hamparan sawah; padi yang menguning; dan tanah sawah yang bercelah pada musim kemarau. Lingkungan yang telah membesarkanku. Halte di depan sana semakin dekat, lalu aku akan menunggu bus untuk kemudian menuju terminal kota Tapal Kuda, Surabaya, Surakarta, Jogjakarta, lalu 2 jam kemudian... sampailah!.

Sebelum Halte itu menjadi saksi kebosanan, sebelum lalu-lalang kendaraan memadati seruang imaji, sebelum kedua mata pedih dan terik kian menghantam, perlu kutuliskan tentang bayangan-bayangan yang menggelayut itu:

Sedari dini dimana aku tertidur, dan kemudian seutas penjalin membangunkanku, sama sekali tak kutangkap bayang itu secara sempurna. Aku tidak mendapatkan diri-nya secara utuh. Akhirnya tiada alasan untuk menampik ejekan, tertawaan, dan berbagai sindiran; aku gila. Dengan sengaja aku melewatkan pertanyaan-pertanyaan seperti: apakah aku sedang jatuh cinta? Kenapa aku harus mencintai? Apa yang membuatku harus mencintai?. Ia datang seakan bidadari malam yang menjadi ratu di ruang imajinasi. Dan aku terus meriasnya dengan ‘apa yang aku dengar’: tentang raut muka, bentuk tubuh, sifat, dan segala tentangnya; memperindah, dan seolah mencuatkan apa yang aku sebut sebagai dogma. Lalu aku mencintainya. Namanya terus mendengung seperti ilham, atau bahkan wahyu yang serta-merta segera kuyakini. Ia tak ubahnya bisik orang tua tentang Tuhan, yang lalu kuyakini tanpa alasan, kemudian aku hidup beragama, dan mungkin tanpa kesadaran. Ia begitu kuat, dan terus menari di tengkuk leherku.

Aku tidak mengerti suatu apa tentang perempuan. Pernah aku mendengar bahwa perempuan ialah makhluk yang penuh dengan keunikan. Namun begitu, tak jarang kutemukan perempuan adalah golongan yang banyak tertindas. Orang lain bilang: “perempuan adalah kaum lemah.”, tapi pada abad 19, di Amerika, kaum perempuan sempat menggemparkan. Yang lain lagi beranggapan bahwa perempuan adalah setan, tapi dari rahim pula lahir berjuta kesalehan. Si A pernah mengatakan; “perempuan adalah simbol kesucian.”, namun tak jarang vagina kaum hawa diperdagangkan. Dan bagiku, kau adalah perempuan, itu saja. kau begitu lentur sehingga menyelinap dalam ruang imaji. Kau begitu indah dan kuat, sehingga menarik ego, dan pada saat yang sama mematikan nalar pikirku.

Tak pernah kutuliskan waktu, saat, detik, dan kapan kau datang. Kau sama sekali datang dan menawan imaji tanpa memberi batas waktu kapan kan kau lepaskan. Seperti hanya ada kata ‘abadi’ dalam ruang dimana kau menjadi ratu. Sungguh seruang khayali yang tak kenal tautan waktu. Pun saat bibir tipismu bergerak, seakan ada kata wahyu yang kutangkap, dan segera kuimani. Maka aku biarkan semua ini tanpa titik sebermula. Kecuali kau akan mengakhiri dengan ‘hadir’ atau bahkan pergi sejauh mungkin; “ini bukan yang saya harapkan.”

Demikian tulisku pada lembar Diary. Entah pada lembar yang keberapa. Jelasnya, aku mengenal buku itu 1 tahun lalu. Ia seperti karib yang mengerti betul akan kejujuran, tanpa tendensi, ‘sebagai kawan yang berani kritis,’ kata seorang teman. Ah, aku belum lagi mengerti tentang tulis-menulis. Maka, hanya perlu kemauan untuk mengisi Diary bercorak hitam itu. Sederhana, kemauan. Dengan begitu aku tidak perlu berprasangka bahwa apa yang aku lakukan telah menabrak kode etik kepenulisan. Kejujuran, tendensi, baru kudengar beberapa bulan kemudian. Dan sebelumnya, kejujuran tak lebih dari sebatas referensi. Demikian aku memahaminya.

Di atas sebuah bus.

Ada semacam kebahagiaan merona; terlepas dari segala aturan. Jeruji, demikian kawan-kawan mengumpamakan segala aturan. Dengan begitu, hidup dalam aturan seakan hidup sebagai tawanan. Sedang kini bus melaju, dan aku bebas menatap segala yang ada. Mungkin aku akan tidur hingga bus berhenti, atau apa pun. Biarlah aku menikmati segala yang ada dengan kehendak, dengan begitu aku akan mencipta dunia. Ya, duniaku sendiri.

Aku sedang tidak ingin memberi nama atas dunia yang baru saja kucipta. Namun, akan kukenalkan padamu seseorang:

Wulan namanya. Ia lahir pada tahun 1986. Tepatnya pada tanggal 13 Oktober. Aku masih ragu untuk memastikan bahwa ia lahir di kala senja, sesuai nama lengkap yang ia miliki: Wulan Kala Senja. Ada semacam bias merah yang menggenangi bibir tipisnya; airmukanya tidak sayu; sorot matanya sejuk. Ia adalah perempuan jawa, tidak terhitung tinggi. Namun begitu, ia lebih jenjang jika dibandingkan dengan sinden Jaipong yang nampak pendek dengan kebaya yang mengatup tubuh sintalnya. Wulan yang pada kemudian hari kukenang.

Aku belum lagi mengenalnya utuh. Pada masa itu, aku tentu memahami bahwa yang dimaksud dengan ‘utuh’ ialah mengenal beserta latar belakang, dan apa yang berada pada kisaran hidupnya: ayah, ibu, keluarga, adat, tradisi, dll. Hal yang teramat menjemukan bagiku. Dan aku tetap ingin mengenalnya sebagai Wulan Kala Senja, sebagai perempuan, sebagai manusia yang memiliki entitas dan kebebasan.

Kini aku benar-benar p-u-l-a-n-g. Dan aku tengah menanti senja.

Bersambung...

Edisi II Kata

Membingungkan, begitu kesanmu.
Proses transformasi makna memang tidak selalu mudah. Terlebih kala makna yang dimaksud berada ditengah jejaring kata (tertulis). Paling tidak tulisan tersebut telah terpisah dengan si empunya, dan berada utuh dipangkuan sang Pembaca. Maka, tulisan akan murni sebagai jalinan-jalinan yang –tentunya—terpaku pada kaidah linguistik. Kaidah yang kemudian menjadi piranti dalam memahami pesan. Sang penulis telah berada di luar ruang dialektika antara tulisan dan sang Pembaca.

Konon ‘dialektika’ ini telah ada beberapa abad lalu. Terangnya, ada semacam otoritas yang masih diragukan; milik pembaca, atau kuasa sang Pengucap. Misal, dalam diskursus Turas, al-Qur’an, dan Hadis: al-Thabarî berasumsi, Nabi adalah pemegang otoritas tunggal dalam interpretasi al-Qur’an. Kitab suci Kristen, Bibel, pun mengalami hal yang sama. Tentu karena Sang Pengucap masing-masing kitab di atas ada di alam pesan ke-Tuhan- meta. Atau, sang Rasul yang secara sengaja ditugaskan sebagai penyampai an, telah wafat.

Namun, dalam setiap lapukan sejarah literatur akan selalu ditemukan semacam Mansius. Sosok yang teguh ini pernah mengisi sejarah filsafat Konfusiusisme Cina: ia seorang literalis; lebih memilih untuk menghafal seluruh ajaran dan pemikiran sang pendiri, Konfusius, daripada melakukan interpretasi dengan cara menyerap spirit teks ajaran. Dan yang terakhir ini kemudian diambil oleh Hsuntse dan Yangtse sebagai sebuah cara baca yang ia sebut dengan, ‘metode analitis’.

Proses transformasi makna memang tidak selalu mudah. Seolah telah menjadi tabiat kata; jalin-rangkai abjad yang kemudian tersatukan dalam kata tersebut membatasi makna. Segala pesan yang telah menggumpal dalam hati, suatu kali hanya terwakili oleh kata yang sangat singkat. ‘Aku sayang padamu’, kataku misalnya. Maka, akan sangat berbeda jika kita mendengar bagaimana Once menyatakan maksud yang sama dengan sebuah lagu, ‘Dealova’. Terlebih bahwa bait-bait lagu tersebut kemudian diiringi oleh semacam aransemen, dan dilagukan dengan tangga nada. Contoh lain adalah kasidah ‘Burdah’ yang acap dilenggamkan di surau-surau desa: betapa sang penulis, Syeikh al-Bushairî, dengan seluruh daya upaya menciptakan ratusan bait hanya untuk menyampaikan pesan cinta terhadap sang Rasul.

Tentu hal ini bukan sekedar gaya, atau karakter. Karena masing-masing akan memiliki caranya dalam menyampaikan kata hati. Seorang debator mesti merasa terancam jika harus ‘bertele’ dalam pengucapan. Ia akan lebih nyaman dengan diksi seorang orator: singkat, retoris, padat, tegar, îjaz—dalam istilah sastra lingustik Arab. Layaknya seorang debator dan orator yang gagah dan tegas di atas panggung, pun penyair atau pujangga yang tengah berada di padang cinta; ia akan lebih mungkin memilih diksi panjang, imajinatif, ithnâb—dalam istilah sastra linguistik Arab. Karena ia sedang berada dalam ruang yang seakan tidak memiliki batas; ia tengah menikmati semacam kebebasan, dan benar-benar bebas; di sekitarnya ada jutaan diksi yang mungkin ia pilih, dan ia bebas bahkan untuk menggunakan seluruhnya.

Seolah denting yang kau perdengarkan
Maka semacam getar meretas
Tanpa nada menentu
Ia liar memecah segala kesunyian
Dan ramai pun gagap

Demikian petikan kataku.

Masing-masing akan memiliki caranya dalam menyampaikan kata hati. Tentu ada semacam kebebasan yang menjadi pesona sang penulis atau pengucap. Namun begitu, sang pembaca atau sang pendengar, akan selalu mendapatkan kuasanya; ia bebas memberi makna.[]

Edisi I Kehendak

Pada setiap perjalanan menuju kedewasan, pasti akan menemui ‘keraguan’. Keraguan seakan menjadi ciri, lebih ekstrim lagi ia seolah pos. Seperti tanda baca koma yang harus diiringi dengan jeda. Keraguan seakan setitik air pada paruh burung camar; jatuh kembali, atau ia akan terbang bersama sang burung menuju jurang yang lain, tempat yang lain, mengarungi segala yang tak pernah terekam. Karena titik air seakan cermin yang memiliki daya rekam, daya pantul.
Nyatanya, daya penglihatan cukup potensial dalam proses ini. Setidaknya ada setelah daya dengar, seperti yang dikatakan oleh Richard Bourdieu. Maka, benar yang acap dinyanyikan oleh anak gembala, ‘Mata adalah jendela dunia’. Pun demikian kata pepatah. Dan seperti kedewasaan yang terbentuk oleh cerita-cerita sang mata, aku pun pernah mendengar ia bercerita:

Apa yang mungkin dicapai oleh kelenjar mata
Ia tak lebih jeli dari telinga kuda
Ia menangkap apapun seakan kehidupan mati


Sesekali saya perlu mengambil jeda untuk bersikap, karena apa yang disampaikan mata akan selalu sama dengan realita. Ya, realita pada detik dimana ia menangkap fenomena. Namun begitu, ia pernah dikata sebagai kejujuran. Kaum cendekia menyebutnya empirisisme.

Dilematis, suatu saat kejujuran harus dimaknai dengan 'keselarasan atau kesesuaian' dengan realita. Pada saat yang sama pun kita telah telah mengenal kuasa rasio. Maka, 'kesesuaian' akan dipertanyakan kembali karena kesesuaian bukan sekedar mencerap ‘apa adanya’. Logis, demikian akal menuntut terhadap kuasa penglihatan. Berapa banyak realita yang tertangkap oleh mata, namun ternyata acap terfilter oleh rasio yang mendamba segala yang logis?

Takjub, ketakjuban, ialah salah satu yang acap diperoleh oleh hati dengan menerjemahkan 'cerita' Sang mata. Atau sebaliknya, kepedihan dan kebencian. Oleh karena itu, keraguan adalah sebuah niscaya. Sebab kita hidup. ‘Aku berfikir, maka dari itu aku ada,’ kata Descartes. Saya sedang tidak mengetengahkan sebuah diskursus ‘ada’, permasalahan yang tak kunjung luput bahkan dalam pembahasan antropologi. Dalam ajaran Islam, ‘Ada’ tidak lain dari wujud derivatif Tuhan, “segala wujud diciptakan oleh Tuhan.” Sementara dalam pandangan lain, ‘Ada’ tentu akan memiliki maknanya sendiri.

Ia cantik, sorot matanya memupus segala keraguan dan pesimistis

Begitu kiranya yang disampaikan oleh Sang mata. Maka, muncul seperti ketertarikan, senang, kagum. Semuanya ada sebagai hasil dialektika inter-subyektif; saya sebagai lelaki, saya sebagai yang telah dewasa, cantik yang merupakan sifat seorang perempuan, dan perempuan itu sendiri sebagai entitas yang samasekali berbeda dengan saya.

Ketertarikan bukan seperti jarak tempuh yang mungkin diukur secara matematis. Ia seperti wahyu Tuhan yang digambarkan oleh riwayat; semacam denting lonceng yang kuat dan menggigit. Seperti halnya Nabi yang tidak memiliki otoritas –bahkan untuk merubah wahyu Tuhan, maka kita hanya bisa mengucapkan ‘ketertarikan’ yang mungkin mewakili semacam denting kuat tersebut. Mengubahnya dengan ‘ketakjuban’, ‘kekaguman’, tentu tidak sederhana. Karena butuh atribut yang lebih; interaksi, pengenalan persuasif, dll, untuk kemudian mengucapkan: “aku kagum, dan takjub padamu.” Tanpa atribut-atribut tersebut, mungkin akan lebih terkategorikan sebagai ungkapan hiperbolis. Dengan begitu kejujuran telah terlumuri semacam harapan. Gombal!, mungkin itu yang kerap dilontarkan seorang perempuan kemudian. Bukan hanya kepada perempuan, dalam pujian sekalipun kita harus mengetahui batas.

Pada titik tertentu ketertarikan telah kuterjemahkan menjadi sebuah gerak dinamis. Ia berkembang. Terlepas ia tumbuh menjadi semacam kecemburuan, atau keinginan untuk memiliki. Paradoks, yang pertama seakan muncul sebagai antitesa dari yang kedua. Bukankah perlu ada kecemburuan untuk dapat memiliki?. Sementara itu, ‘memiliki’ seolah diksi yang amat absolutis; bukankah sebagai pemilik kita seakan telah memiliki wewenang?

Memiliki ialah membunuh. Karena dengan menjadi pemilik seakan kita mengikat ‘kebebasan’ yang merupakan ciri kehidupan. Maka, memiliki dan dimiliki bukanlah diksi ‘keadilan’. Mungkinkah dengan menjadi pemilik, dan pada saat yang sama ia tidak mempunyai wewenang yang mengikat? Tentu ini adalah pertanyaan konyol, atau lebih sopan ungkapan ini tak lebih semacam rayuan. Kepemilikan tak lepas identik dengan kuasa, dan kekuasaan.

Ketertarikan tetap merupakan sebuah gerak yang dinamis. Ia seakan ombak yang mungkin surut, atau sebaliknya. Ia berkembang. Dan kini kemungkinan yang ada bukanlah kecemburuan, atau keinginan untuk memiliki. Seperti halnya hegemoni, menguasai-dikuasi, otoriterianisme, diktatoris, yang kontra dengan ‘keadilan’, manusia ialah makhluk yang memiliki kehendak. Ia hidup, dan menguasai akan kehendak yang dimiliki. Maka, saya menemukan sebuah kebebasan dalam ‘mencintai’. Dan kita telah sama-sama mengetahui bahwa kuasa kita atas obyek yang dikehendaki berada di bawah naungan sang Maha Pengasih. Maka, aku pun berdoa.[]

Persaksian

Suatu periode dengan segala karakteristiknya hanya akan tampak utuh bila kita “menoleh ke belakang”
(Bachelard)

15 tahun selepas al-Ghazali mangkat, Abu al-Walid (1126 M) masih seorang bayi. Bayi kecil yang ditimang sisa keriuhan “The Golden Age of Islam”. Abu al-Walid kecil turut menyaksi ketegaran benteng Granada menjaga Spanyol. Di Timur, mercusuar-mercusuar Baghdad masih tegak memancarkan pendar keemasan. “Inilah kegagahan Arab-Islam”, demikian sejarah memahatkan sabdanya.

Kelak, Abu al-Walid sadar, panorama itu adalah dilema. Ia serupa kutukan yang mewujud dalam perilaku takfîr. Kutukan yang menunjuk Yunani sebagai kambing hitam. Dalam kebenaran yang berlindung-padu di bawah kubah wahyu, takfîr menjelma kuasa tak terbantahkan. Mendaku kebenaran dalam sederet klaim.

Beberapa masa, klaim kebenaran bergeser menjadi pembelaan atas nilai-nilai positif yang diyakini. Meski pada saat yang sama memiliki sifat attractive. “‘Klaim’ bukan lagi wujud ‘determinasi dan keberanian’”, Foucault menuduh nyaring. Tapi, di sisi lain, kegagahan itu juga semisal berkah. Dari rahimnya, terlahir rasionalitas, filsafat, akal, dan kebebasan.

Generasi belakangan mengakrabinya dengan panggilan Ibn Rusyd. Ernest Renan menduga, kesadaran filosofisnya terpantik oleh pertanyaan penguasa Marrakesh yang dijumpainya berkat jasa Ibn Tufayl. “Sungguh malu dan hinanya diriku,” sesal batinnya. Saat itu, Abu Yusuf Ya’qub (1163-1184.M.) mencecarnya ihwal “filsafat Yunani dan Alam”. Maka, sosok yang memiliki simpati pada al-Ghazali ini memutuskan mendermakan waktunya guna mempelajari filsafat. Dia tenggelam dalam literatur filsafat. Beberapa akademisi, lantas menyematkan julukan “El Gran Comento” (Sang Pen-syarah) Aristoteles.

Dan nama harum Ibn Rusyd mulai merebak. Kepintarannya nampak menyala serupa Bintang Kejora. Dengan cerdas, Filsuf sekaligus Kadi ini mendamaikan perdebatan perihal ‘kebenaran’. Baginya, kebenaran adalah tunggal. Meski dari dua kutub yang diperlawankan; filsafat dan agama. Bagi dunia Barat (Maghrib), dia tentu lebih dari sekadar ‘matahari’.

Di Timur (Masyriq), minta mempertentangkan akal dengan wahyu menjelma sebagai ‘dosa’ usang berupa kebiadaban. Kebiadaban yang berputar di antara hukum, hakim, dan terhukum. Al-Ghazali, Sang Pembela Islam dengan sigap menarasikannya dalam Tahâfut al-Falâsifah. Berdasar kuasa agama, dia mencerca, menista dan mengkafirkan filsafat. Dia kabur dari jalan filsafat menuju lorong lain berupa tasawuf. Dia bersikeras mendakwa filsafat takkan mengantarkan pada kebenaran.

Dan filsafat di Timur seperti tergorok urat lehernya. Mati terlindas sabda langit. Al-Jabiri mencoba menjelaskan motif keputusan aneh al-Ghazali itu. Dalam salah satu tetraloginya, Takwîn al-Aql al-‘Arabi, dia menduga Masyriq belum siap ‘berkawan’ dengan konstruk nalar yang berbeda. Nalar Timur cenderung tak berdaya di hadapan teks. Beda di Yunani sana. Yang memilukan, Sang Hujjat al-Islam ini tengah mengabdi pada dinasti Seljuk yang gerah dengan filsafat.

Dan purnalah al-Ghazali dengan segenap mitos dan eposnya.

Menyorot nalar memang dilematis. Ia jelas berjenjang; tak sama antara satu peradaban dengan yang lainnya. Ada ‘kelas-kelas’ dikotomis yang mustahil ditiadakan. Meski mendaku dalam ketunggalan rumpun. Penyokong mazhab Aristotelian paham benar konsekuensi itu. Dan keberjenjangan itu meletupkan kecurigaan dan sinisme. Pengagum nalar burhânî, bayânî, atau, pun ‘irfanî, tersekat dalam dunia sempit masing-masing. Yang tersisa adalah trauma.

Tentu peradaban tak pernah meminta sesuatu yang disebut sebagai “kesalahpahaman” selamanya akan menjadi trauma sejarah. Sebab ia hanya penghalang. Ia serupa tabir bagi “kontinuitas” keilmuan. Yang pasti akan menjadi hijab bagi jalan menuju kebenaran.

Maka, sejarah akan tetap berjalan. Meninggalkan luka, trauma dan membawa sebias cahaya. Atau sembari menjinjing kecemasan jaman. Kecemasan yang mewujud dalam akal yang terpasung fanatisme. Nalar yang dicekam kekhawatiran hanya akan menunjuk proses kritis-kreatif sebagai sebentuk heretik. Inilah kecemasan panjang kaum Muslim.Dan di Barat sana, proses kritis-kreatif terus disemai.

Ini mengapa, kaum Muslim mesti sudi merapal mantra Bachelard bernama “hambatan epistemologi”. Bagi filsuf Prancis abad 19 ini, ‘hambatan’ adalah keadaan dimana manusia “buta” terhadap kemungkinan-kemungkinan yang secara obyektif tersedia bagi ilmu pengetahuan. Jika demikian, kita tak boleh lagi membutakan diri. Sebab dengan daya kreatif dan nalar inovatif, Ibn Rusyd mampu mempersaudarakan filsafat dan agama. Menyandingkan akal dan wahyu.

Ibn Rusyd begitu atraktif berlogika dalam menguak tanda-tanda. Meski di lain waktu, dia tak menganggap sepi teks dan wahyu. Sesungguhnya, Ibnu Rusyd tengah menelusuri jalan al-Farabi, Sang El Segundo Maestro. Juga meneladani Ibn Sina. Ketiganya tak hanya menenggelamkan diri dalam ilmu keislaman. Mereka menghayati filsafat laiknya mengimani wahyu. Tak ada yang berat dengan menempuh laku sebagai hamba Tuhan dan agamawan sekaligus. Dan benar sabda mereka, tak ada permusuhan antara filsafat dengan langit.

Dan kelak, gagasan mereka yang mengkristal di tangan Averroes, Sang Penyulut Pencerahan ini dipahami sebagai “double truth” oleh Averroisme Latin. Gagasan besar yang sanggup meruntuhkan otoritarianisme gereja Eropa di abad ke 13.

Demikian masyarakat Barat mempersaksikan keagungan dan keabadian Averroes.[]

Followers

Catatan Gila © 2008 Template by Dicas Blogger.

TOPO