Monday 20 April 2009

Determinisme Pendidikan; Hanya kata untuk buah Lokakarya

16 November. Patut dicatat sebagai hari disahkannya sebuah program yang kelak akan mempertemukan mahasiswa/i dengan para dosen dalam ruang-ruang khusus; mempertemukan keduanya pada waktu-waktu tersendiri; memadukan kedua belah pihak dimana yang disebut pertama seolah seorang pesakit yang tercengang oleh laku pihak kedua—para dosen –selaku dokter. Program inilah yang kita kenal dengan sebutan Fushul at-Taqwiyah. Sebuah program belajar yang sengaja dirilis guna menyokong prestasi Masisir.

Terlepas dari intensifitas dan besar-kecil pengaruh yang acap sebagai alas penilaian suksesi sebuah program, penulis tertarik, dan merasa perlu untuk melihatnya sebagai sebuah fenomen yang lahir sebagai efek dari dinamika sosial pendidikan. Bukan sebuah program yang muncul secara spontan, dan melulu dari manusia selaku homo faber. Sehingga rentan kritik, baik dari sisi landasan pikir yang kemudian membawanya menuju taraf ide, ataupun dari sisi politis-birokratif dimana program ini dimuncul-sahkan.

Kalau kita tarik pada titik sebermula progam ini, Fushul at-Taqwiyah ialah salah satu buah hasil dari Lokakarya yang diadakan April lalu. Gawe besar yang disinyalir akan menghasilkan ragam solusi melalui konsensus para Stakeholders mengenai penanganan terhadap kerapuhan prestasi Masisir. Dan benar, lahirlah beberapa kebijakan meskipun mayoritas lebih bersifat rekomendasif (baca: Draf hasil Lokakarya). Di sini, prestasi Masisir merosot adalah sebuah premis. Melemahnya prestasi menjadi akar masalah yang penting untuk segera diatasi. Pada sisi lain, tentu kita tidak bisa menafikan bahwa kualitas Masisir sangat koheren, dan berbanding lurus dengan kualitas Kedutaan sebagai pemangku kuasa.

Terkait dengan Fushul at-Taqwiyah sebagai efek dari dinamika sosial pendidikan, ini tidak berarti bahwa program tersebut—dengan segala aturannya –muncul atas “desakan sosial”. Sebuah teori yang dicipta oleh Henri Bregson dalam analisisnya terhadap moral dan kehidupan etis, sekaligus sebagai counter atas rasionalitas Kant (baca: Filsafat Barat). Yang menarik ditilik bukan perhelatan antara peran insting dan rasio dalam menilai, membandingkan, lalu memutuskan. Akan tetapi, bagaimana kita melihat—tepatnya menilai—Fushul at-Taqwiyah sebagai sebuah efek dinamika sosial pendidikan dan pada saat yang sama ia adalah produk dari tahapan “evolusi kreatif” (meminjam istilah Bregson) yang potensial untuk berkembang secara terus-menerus. Pada taraf penilaian ini, tentu kita telah menelanjangi Fushul at-Taqwiyah dari bingkai programnya: kembali pada ‘embrio’ yang memicu semangat prestatif secara murni. Menurut saya, ini lebih mendasar daripada ia sekadar sebuah program yang bersifat ‘semu’dan sangat birokratis.

Pada tatanan realitanya, Fushul at-Taqwiyah berjalan masih sebagai sebuah program. Ini yang layak disayangkan. Entah disengaja ataupun tidak, yang jelas ia terjebak dalam kerangka program yang sangat mekanistis, dan tidak menyentuh—alih-alih mampu merangsang –elan vital prestasi pendidikan itu sendiri. Kemudian sangatlah layak jika pretasi yang diimingkan sebagai wujud nyata dari kualitas dan mutu intelektual diduduk-sandingkan dengan nilai yang serba formalis-birokratis.

Sampai di sini sebenarnya kita dihadapkan pada kontradiksi antara kualitas versus prestasi. Pertikaian yang lamat-lamat ada dimana kualitas tidak terkandung secara apik dalam prestasi formalis-birokratis. Dan sebaliknya. Namun, tidak semestinya kita larut dalam pembahasan ini. Karena hal ini, menurut penulis, adalah realita yang sama sekali tidak bijaksana meski samar adanya. Realita yang lebih menarik dilirik ialah bahwa Masisir di sini diposisikan sebagai masyarakat yang sama sekali unconcious (Tak sadar): semua laku studi-nya harus dideterminir oleh aturan-aturan formal-legitimasif. Maka, dengan serta-merta logika-kreatif, cita-cita, keinginan, dan segala struktur serta psikologi individu yang memotori laju kehidupan masyarakat, dilawankan dengan keadaan unconcious. Pada titik inilah sinergitas antara nilai dasar pendidikan dan program yang memiliki cita prestatif hengkang.

Sebuah program yang semestinya selaras dengan visi-misi serta epistema falsafi, dalam hal ini mampu mendobrak batas kesadaran masyarakat akan nilai dasar pendidikan, malah dinilai kuat, bahkan mengacuhkan ke-‘tidak sadar’-an tersebut dengan menjejali program baru yang lebih ideal-formalistik-deterministik. Selintas lalu pendapat ini mengindikasikan adanya tuntutan kebebasan. Dan memang kebebasan penting ada, dan dimiliki, bukan ia yang seringkali diartikan sebagai “liar dan tanpa aturan”. Namun, lagi-lagi penulis mengacu pada pemikiran filosofis Henri Bregson yang memaknai kebebasan sebagai kesadaran yang berupa gerak, perkembangan, peralihan terus-menerus. Karena kesadaran ialah bersifat dinamis dan kreatif.

Dalam ranah yang lebih fundamental, pendidikan tidak lain adalah sebuah proses yang mempunyai potensi utama sebagai pembina hidup manusia menuju taraf kehidupan yang lebih layak, mulia dan bijak. Sehingga ia berpotensi menggerakan rasio, menuntun logika dan menilai ilham secara sinergis; baik dalam alam sadar ataupun alam bawah sadar. Lalu seiring kemudian ia mengenal dan terejawentahkan dalam sistem-sistem yang lebih partikular. Maka, penulis rasa kurang etis jika sebuah program yang diciptakan dan disinyalir kuat sebagai penyokong prestasi malah membawa insan pelajar pada realita birokratisasi pendidikan.

Fushul at-Taqwiyah sebagai sebuah program yang dicanangkan guna menekan prestasi akademik Masisir patut kita dukung. Namun begitu, akan fatal jika program ini tinggallah sebuah program yang menghantarkan Masisir hanya pada pretasi akademik yang bersifat simbolik; menuntun Masisir menuju altar event ‘Takrim an-Najihin’; membina Masisir untuk tunduk pada diktat literalis, tanpa harus mengenal analisa kritis. Maka tradisi baca, berfikir, menganalisa, berdiskusi, menulis, akan semakin tergilas. Kecuali hanya dimiliki oleh segelintir orang, yang—bahkan–lebih layak dihukumi ketiadaanya samasekali. Bahkan, opini kritis yang mungkin memicu munculnya polemik (sebagai sebuah tradisi intelektualitas yang sehat) acapkali dipupus-hentikan dengan cara—yang menurut sebagian kalangan ialah santun, kekeluargaan.

Sebagai sebuah catatan, setiap individu manusia—dengan segala kompleksitasnya—memiliki berbagai potensi yang mungkin muncul-meretas, tentu bukan tanpa pemicu. Di sini unsur sosio-kultural, sosio-ekonomi, sosio-religi, dan mcam lainnya memiliki pengaruh yang cukup kuat. Mengapa prestasi akademik Masisir merosot? Mungkinkah fasilitas yang masih kurang memadai? Mungkinkah sosio-religi dengan ragam perdebatan ideologisnya ikut andil? Mungkinkah sosio-ekonomi telah menghimpit semangat akademik? Mungkinkah sosio-kultur, politik, ikut berperan dalam keterpurukan ini? jawabannya ialah semuanya mungkin[]

Seja o primeiro a comentar

Post a Comment

Followers

Catatan Gila © 2008 Template by Dicas Blogger.

TOPO