Wednesday 8 April 2009

Surat Pungkas Zacky


Jaka Edan yang lugu,

Telah kubaca sempurna lembaran-lembaran yang kau titipkan untukku. Aku akui kau pandai menyusun kata. Setidaknya aku bisa merasakan bahwa apa yang kau tulis tidak akan pernah sanggup kau ucapkan. Kuamati kau, dalam 6 lembar suratmu, seolah tengah berceloteh. Mungkin juga kau tengah merajuk. Atau, kau sedang jujur dengan segala yang terlintas di hati. Ia seperti petikan-petikan senar gitar. Menembus seruang hampa hatiku. Saat airmata menenggelamkanku dalam kepedihan, kau ulurkan temali. Dengan begitu, kembali dapat kuhirup nafas. Namun, jangan lalu kau menganggap dirimu sebagai pahlawan. Karena kehidupan berjalan tidak seperti air. Dan kamu, aku, atau sesiapa saja telah mengerti akan irama dunia yang kini mengulun masa. Bukan lagi dunia kapitalis.

Satu hal yang sulit kau pahami: tidak semua harus kau sampaikan panjang lebar. Mungkin kau tengah sok filosofis. Aku akan terus mencoba menghargainya. Dan kau perlu sadar, diksi yang kau gunakan samasekali tak kukenal. Pada kesempatan tertentu, kecerdasan memang seperti ilham. Atau, ia lebih layak disebut kebetulan. Peka terhadap ‘yang tak terduga’. Sehingga memang pantas disebut ke-be-tu-lan. Ya, dan kau tak perlu mengagumiku sebagai yang tahu akan banyak hal. Jika aku lebih sering menggunakan diksi oratori forensik, itu karena memang yang aku suka. Tentu akan kontras dengan kamu yang lebih suka berorasi gaya deliberatif.

Jaka, bingkai lukisan nama yang kau toreh dengan tinta mega telah kuterima. Aku tersanjung. Pernik kilat cahaya, satu dua bintang, membingkis secarik namaku yang kau tulis. Entah seberapa lama kau pampang bingkai ini di hadapan cakrawala, di depan gereja puncak Turisinai. Sehingga nampak bercak-bercak malam tebarkan sendu. Mungkin kau telah menduga. Berarti sebuah kabar gembira bagiku; ke-edan-anmu kian reda. Tapi,

Jaka Edan, tak kusangka kau benar-benar edan,

Mungkin kamu tidak pernah menyangka bahwa, apa yang kau sampaikan sangatlah mengejutkan. Namun, lagi-lagi kita berada di dunia nyata. Dunia yang telah dipenuhi oleh kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan-kepentingan. Oleh karena itu, perlu sesekali untuk berfikir praktis. Ya, praktis! Tahukah kamu bahwa umur perempuan tidak sepanjang umur kaum lelaki?! Ini penting untuk kau mengerti. Dengan begitu, maka sekian persen kamu telah menghargai seorang perempuan. Gadis, tepatnya.

Kau gemar menganggapku seolah kupu-kupu. Karena ia identik dengan kecantikan, anggun, dan lembut. Sebagai gadis, aku tak perlu malu untuk mengakui bahwa aku tersipu, bangga, dan tersanjung. Namun, kau lupa menerka; sejauh apa kupu-kupu itu terbang? Ia tidak cukup tenaga untuk mengarungi samudra. Atau ia benar-benar tidak berumur panjang (?). Seperti aku. Ini bukan persoalan tradisi seperti yang kau duga. Tepatnya, bukan semua disebabkan oleh karena tradisi yang telah memasung kaum perempuan. Memang, perempuan tercipta seakan untuk ‘dimiliki’. Dengan begitu, kau akan mudah menuduhku sebagai ‘yang terbunuh’. Aku akui bahwa menjadi ‘yang dimiliki’ memang sangatlah berat. Sakit. Tersiksa. Dan kau sepakat: itu hanya dialami oleh perempuan-perempuan abad lalu. Perempuan-perempuan gundik. Atau, sebagai istri sah pun tidak mempunyai hak banyak. Saya tidak sedang memperebutkan hak. Akan tetapi sejarah menuliskan: perempuan adalah kaum tertindas. Bukankah kau pernah menuliskan email yang berisi pujian-pujian terhadap sosok Nyai Ontosoroh? Kau deskripsikan bagaimana seorang nyai-nyai memiliki keberanian dan keteguhan guna mempertahankan hak. Aku masih ingat kau menyebut novel yang kau kagumi itu: ‘Bumi Manusia’.

Tidak Jaka, aku tetap memiliki cita-cita. Dan aku pun selalu mempertahankan hak, sebagaimana aku menjalankan kewajiban-kewajiban. Aku tidak akan dimiliki secara sempurna. Saya harap kau tidak terlalu bodoh memahami kata ‘dimiliki’. Meskipun akan ada seorang lelaki yang meminang, lalu membawaku dalam tandu pengantin, aku akan lega menjadi seorang istri. Bukan yang ‘dimiliki’. Kewajiban-kewajiban sebagai seorang istri tentu akan aku jalankan atas dasar cinta dan keikhlasan. Karena perintah-perintah bukan perkara wahyu yang tak mengenal dialog, atau kompromi. Maka, tentu aku akan tetap lapang menerima hak-hak yang semestinya aku dapatkan.

Jaka yang tak akan pernah waras,

Mungkin kau telah lebih dulu dewasa dariku. Tapi, dalam umurku yang tidak seberapa lama, aku telah lebih dulu mengerti. Boleh saja kau mengusung segudang kata puja, kagum, dan cinta. Aku juga akan menghargai segenap cinta yang kau persembahkan. Sekali lagi, cinta bukan sekedar perihal hati. Janji dan kepastian-kepastian pun jangan kau anggap sebagai bukti kesetiaan. Kepastian yang sesungguhnya, bagi seorang perempuan—setidaknya bagiku, ialah detik dimana kau datang untuk meminang. Lalu, dalam jeda yang singkat kau berikrar di depan penghulu dengan penuh tanggung jawab. Dan lagi, pernikahan bukan perkara sederhana. Kau tidak perlu pura-pura tidak tahu.

Saya yakin kau masih, dan akan senantiasa mengingat hari itu. Dan aku juga telah mengira akan kepolosanmu. Cukup mengherankan, kau tetap teguh dalam kebodohanmu. Karena sejak awal aku telah mengira: kau tidak banyak tahu perihal cinta. Maka, dalam surat ini aku akan sedikit mengguruimu. Tentu aku memiliki tujuan. Ya, tujuan yang—bagiku—sangat mulia: agar kau tidak mudah menganggap perempuan sebagai makhluk keji. Kusangka kau cukup cerdik dan jeli membaca kisah cinta Annelis. Paling tidak kau tidak mudah terjebak hanya pada cinta yang begitu mendalam, dan tidak mengenal kasta. Sengaja saya ibaratkan dengan kasta, karena masa dimana Minke tergila-gila dengan Annelis ialah masa dimana kasta sangat penting. Ia mampu menoreh takdir. Keinginan-keinginan pupus ditelapak kaki Ayah. Atau, segala mimpi akan tergilas dalam tangga piramida sosial. Semisal kasta yang terbentuk bukan hanya oleh garis suci keturunan, ekonomi juga sangat menentukan. Ternyata, kau pun tidak memahami bagaimana perasaan cinta Annelis yang kaya raya itu terbentuk. Kau terburu menganggapnya muncul laiknya ilham. Ilham, ilham, dan ilham. Oh, God…betapa gegabahnya dirimu, Jaka. Ingatkah kau bagaimana sang kakak kandung Annelis, Robert, memperlakukannya? Adakah kau alpa pada baris-baris dimana Pramudya, sang penulis, melukiskan kemurungan Annelis? Ah, kau tidak sungguh-sungguh dalam membaca novel itu. Kau hanya sok tahu, dan mengandalkan brainstroming saja. Lalu predicting, dan tergesa masuk dalam kemelut cinta yang memang mencekam. Ingat! Yang kau baca adalah novel, tetralogi, bukan berita atau kolom yang selalu sok cerdas dan tangkas.

Baik, semoga dalam ke-edan-an kau masih sanggup berfikir,

Jujur, dengan susah payah aku menulis surat ini. Otakmu lamban. Hatimu juga telah pekat. Mestinya kau menyadari, dan peka. Politis, sebutlah begitu. Karena cinta adalah kompetisi. Bukan lalu karena kau kere, sehingga tidak sanggup memasang slogan-slogan, pamflet, atau negoisasi sana-sini. Bukan pula karena kau tidak pandai berorasi, sebagaimana mestinya seorang politisi. Tapi, yang kau perebutkan adalah kehidupan. Sisa-sisa umur seorang gadis, tepatnya. Umur 23 tahun, bagi seorang gadis, jangan kau samakan denganmu pada umur yang sama! Pada usia ini seorang gadis tak ubahnya seorang kakek yang telah ompong, renta, pikun, dan sakit-sakitan. Dan kau tidak bisa memenangkan kompetisi itu! Tentu karena sekarang aku telah bersuami, Jaka. Suami yang tak segan membelai, memanjakan, pun dengan sepenuh hati mengayomi dan melindungiku. Perlu kukatakan ulang, bahwa aku bukan budak tradisi. Meski kadang telingaku panas, risau, oleh bisik mereka; ‘Lihat! Mahasiswi, 23 tahun, kok belum mempunyai calon,”. Ah, kau memang perlu banyak membaca ilmu psikologi dan ilmu-ilmu sosial. Sehingga kau sanggup membaca seperti apa, bahkan mungkin bagaimana mestinya masyarakat kita.

Jaka, ini adalah kali terakhir. Sebuah jawaban. Aku menulisnya dengan penuh kepedihan. Bagaimana tidak?! 10 menit yang aku luangkan menjadi tidak bermakna. Samasekali! Kau tahu? Harusnya dalam 10 menit aku telah mengembara. Berkeliling dan singgah pada setiap keindahan. Tentu bersama suamiku. Bukan hanya gereja lapuk Suncatrine dimana kau mengharapkanku hadir, dan menyaksikan mentari terbit. Ya, aku dan kamu. Tapi, berhentilah bermimpi. Atau hentikan semua sajak, puisi, dan cerita-ceritamu. Tentu, dalam alam pikir dan imaji kau pun telah sampai bumimu sendiri. Kau injakkan kakimu, lalu kau bersajak tentang bumi. Dunia-dunia sajak. Keberanian dalam sajak. Kesetiaan dalam sajak. Kebijakan-kebijakan dalam sajak. Namun perlu, dan harus kau catat tebal-tebal: bagi seorang istri, suami bukanlah janji, atau bahkan sebatas sajak!

Buatlah sebuah lukisan. Untuk dirimu sendiri. Atau, tulislah sebuah kaligrafi. Di sana kau akan mencatat kata singkat: ‘aku tertipu”.

Selamat tinggal wahai sang Edan,

Zacky


3 Comentários:

wewe_baikhati said...

kok sakne tenan...

Jaka Edan said...

kamsud???????

4Hamdalah Nggênjréng Community said...

... mendukung

Post a Comment

Followers

Catatan Gila © 2008 Template by Dicas Blogger.

TOPO