Wednesday 8 April 2009

Sang Narator


Pelan kau iris gelap. Mesra. Sehingga jerit gulita samar. Tidak terdengar samasekali. Paruh tubuhmu merah. Seperti merah darah, namun penuh pijar. Puluhan, ratusan, hingga ribuan perawan berduyun kemudian. Berdendang di tepi telaga: Sebuah kubang air jernih, dan dipagari cemara-cemara. Pun ragam sekar yang tak pernah mengatup. Telaga Perawan, demikian legenda menyebutnya. Konon bening airnya mampu melipat masa: tidak ada tua-muda. Hanya ada belia.

Pilu menusuk. Satu dua bulir menitik dari sudut mata. Gerimis mendesah. Tanpa resah. Dan pak Tua akan semakin girang melanjutkan cerita sembari menunjuk: “anak-anak, lihat! Bidadari-bidadari itu tengah mandi,” ucapnya. Lalu semua tersipu oleh bayangan masing-masing. Nampak 3 kawan perempuan malu. Mereka mengulum dalam senyum-senyum kebocahan. Mungkin masing-masing tengah menjadi bidadari, tuduhku. Sementara 2 kawan laki-laki semakin mengawan. Dari mata dan mimiknya, mereka tengah girang dalam khayal.

Aku geram. Pak Tua selalu enggan menurunkan bidadari-bidadari itu dari tempat yang ia cipta. Kenapa?, tanyaku, tidakkah pak Tua mendamba kecantikan, keindahan, dan kemolekan?. Ah, dan benar Pak Tua tidak akan pernah menjawab. Dan akan selamanya enggan untuk membiarkanku sekedar mengenal, atau mengucapkan kekaguman.
Lalu semuanya menyanyi seiring aba dari Pak Tua:

Pelangi-pelangi… betapa indahmu
Merah kuning hijau…di langit yang biru


Di kemudian hari, aku tak lagi perlu bertanya. Pada Pak Tua sekalipun. Karena ia telah mati. Beserta bidadari-bidadarinya.

Kini aku berani mencibir pak Tua. Tidak perlu khawatir kualat! Karena di depanku gedung-gedung mall menjulang bertingkat. Gedung-gedung yang benar-benar dapat kuraba. Aku tidak lagi mengitari telaga-telaga gemerlap, dan tersipu oleh wewangian. Hingga kemudian aku, seperti kawan-kawan yang lain, hanya dapat bernyanyi memuja kahyangan. Mengiba pada bidadari-bidadari yang tak pernah kukenal. Alam yang mungkin hanya sebatas tempat singgah bocah-bocah seumurku. Karena hidup perlu cita-cita, kata Pak Tua, dan dengan cerita-cerita mungkin kau akan mendapatkan harapan.

Aku mengenal gincu sebagai perempuan. Aku menghirup parfum-parfum, seperti bunga ‘Telaga Perawan’ Pak Tua yang tak pernah mengatup. Dan kulihat puluhan, ratusan, bahkan ribuan bidadari. Semuanya mewujud dalam bentuk perempuan. Mereka tengah bernyanyi, bersorai, bercengkerama. Di café-café mall yang aku singgahi. Di sepanjang jalan. Bahkan di sudut-sudut gang. Televisi, koran-koran, majalah-majalah, dan sejumlah media, tidak seperti Pak Tua yang selalu berbelit. Hingga aku mengerti: bidadari-bidadari adalah perempuan. Tidak perlu berbelit. Karena mereka telah lebih jujur.

Melalui Hp, Internet, Video-video, aku mengetahui bahwa perempuan bukan hanya lawan kata lelaki. Nyatanya masing-masing memiliki kelamin beda. Ah, sejak kapan aku mengenal kata kelamin! Bahkan aku telah berani mengklaimnya sebagai pembeda intim antara lelaki dan perempuan! Tentu pak Tua marah! Dan aku akan ditamparnya jika berani melontar kata-kata itu. Dan tidak akan pernah terfikir samasekali. Karena aku hanya merindu keindahan! Dan aku geram oleh laku Pak Tua yang berbelit. Sampai kapan ia akan membuatku lena? Sementara aku berharap, ya, berharap agar keindahan menemani di sepanjang sadarku. Bidadari-bidadari telaga itu, tentunya.

Dan kini, film-film itu telah lebih lihai. Ia tidak sekedar bercerita, lalu menawarkanku ragam simpul khayali. Ia tengah berlagak. Bukan sekedar laku pantomim. Dan ia memiliki perempuan-perempuan. Seperti bidadari-bidadari dalam cerita Pak Tua.
Konon film-film itu tengah bicara: mencibir pasar-pasar kotor, menyindir kecongkakan para juragan dan tengkulak, mencela perut pejabat yang kian tambun. Namun begitu, ia adalah satu dari sekian kreatifitas seni. Ia perlu ruh, kata seorang sinematografis, “oleh karena itu ia perlu ‘bumbu’ agar tidak kaku,” terangnya. Namun begitu, aku tidak pernah mendengar Pak Tua bercerita tentang kemolekan. Tentang tubuh. Tentang kelamin. Alih-alih senggama Nabi Musa dengan putri penggembala yang dinikahinya:
“Kambing-kambing gembalaan putri Ya’qub mengembik lantaran terik. Kadal-kadal gurun pun merangkak girap menuju sebalik rumput. Sang putri gelisah. Dan Musa pun akhirnya mengerti. Keduanya bertatapan sejenak..”

Belum usai narasi Pak Tua, Narti menunduk-malu: sok tahu. Pun Narto, kakaknya, yang kemudian tertawa ringan. Seperti aku yang berusaha menebak, meski terpapas segan. Sedang Parjan diam-diam melirik Narti yang memang lentik. “Ah, bocah 8 tahun tau apa,” batin Pak Tua sembari terkekeh penuh wibawa, teduh. Ia benar-benar memahami bahwa ada semacam insting yang akan dibimbing oleh alam. Bukan oleh cerita, sehingga mereka piawai. Begitupun layaknya seorang narator handal, pak Tua mengerti bahwa jiwa, hati, nalar, dan insting, merupakan salah satu pintu masuk sebuah pesan. Maka, Pak Tua pun menyentuhnya;’Lalu mereka jatuh cinta,’ singkatnya, lalu terburu kembali pada cerita kegigihan dan ketabahan seorang Musa.

Pak Tua telah mati. Pergi, bersama bidadari-bidadarinya.

Nur resah. Anak semata wayang, Rida, telah lebih pandai bernyanyi. Sekali-duakali ia pamer rancak goyang. Perutnya lentur, hingga mampu mencipta semacam gerak mematah. Enerjik, sehingga tidak sulit untuknya berputar-meliuk tak ubahnya bor kayu. Bayangkan! Rida lahir 7,5 tahun yang lalu. Dan ia pun telah mengenal gincu.
Aku menikah dengan Nur 10 tahun yang lalu. Saat usia perkawinan menginjak 1,5 tahun, Nur mengandung. 2 tahun kemudian, dalam temaram sayup kudengar Pak Tua bercerita padaku. Bukan tentang ‘Telaga Perawan’, atau tentang bidadari-bidadari. Lalu akupun bertanya;

“Pak Tua, cerita apalagi yang hendak kau sampaikan?”
“Tidak, ngger, kali ini bapak ingin mendengarmu bercerita,”
“Kenapa? Tidak! Aku tidak pandai bercerita,”
“Ya, karena bapak telah melihat, menemui, dan menjamah bidadari-bidadari itu,”
“Bukankah itu yang Pak Tua inginkan?”
“Baik. Jika memang begitu anggapanmu, bapak ingin bertanya; adakah perempuan-perempuan bidadarimu, yang telah kau jamah, atau semua yang mungkin kau raba, membawamu pada keindahan seperti yang kau rasakan selepas mendengar cerita ‘Telaga Perawan’?
“Apakah Pak Tua juga akan menanyakan pertanyaan yang sama pada si Narti?”
“Sayang, kamu tidak sempat menjadi seorang Narator. Sutradara pun tidak. Jangankan menulis sekenario, atau cerita. Maka, kamu tidak pernah merasakan kepedihan-kepedihan mereka. Juga seorang Narator..”
“Kenapa? Merasa berdosa karena telah menipu pendengar, penonton?”
“Justru karena mereka tidak tertipu, lalu menjadikan tokoh sebagai puncak harapan dan yang harus ditiru, sang Narator sedih. Ia merasa telah membatasi, dan membunuh para pendengar, penonton, sehingga mereka tak lebih dari bonek-boneka. Atau, seperti wayang yang tak mampu menulis cita, keinginan, dan harapannya sendiri, dan sebaik mungkin,”

Pak Tua beralih. Ia tak nampak lagi. Sejenak aku masih berfikir. Dan saat gelap menjelma menjadi alam yang tak pernah aku kenal, aku hanya bisa berbisik:Oh, Rida…seandainya bapak sempat bercerita, akan aku sampaikan sebuah cerita ‘Singgasana Putra Mahkota’ padamu.[]

Jaka Edan
Selasa, 8 April 2009


Seja o primeiro a comentar

Post a Comment

Followers

Catatan Gila © 2008 Template by Dicas Blogger.

TOPO