Monday 20 April 2009

Antara Proyek Dalsikin dan Proyek Dalfachir

(Sebatas refleksi atas ambiguitas proyek di kampong ‘sempalan’)

Kenyataan-kenyataan bukan kurang benar atau lebih benar, tetapi kurang diketahui atau lebih diketahui saja
[S.M. Liverty]


Aku memulai saat kabut kerutkan pagi dengan rejam dinginnya. Dalam jeda waktu dimana aku terlipat-gilas oleh cerita “Orang-orang Proyek” karya A. Tohari, yang melukis idealisme Si anak gaplek dan thiwul; demi penghormatan atas ilmu mulia yang tergantung-genggam pada gelar, Kabul, melepas-lapang sebuah proyek awal yang siap menguji-buktikan ke-Insinyur-annya; saat aku harus mengakui Si impoten, Pak Tarya, yang berwibawa di balik senandung falsafi Asmaradana dengan iringan siul lirih seruling bambu; dan saat aku tersadar akan iba Pak Kades, Basar, terhadap kondsi sosial-religius masyarakat yang tergumam nyata pada cerita ber-setting waktu 17 tahun silam.

Bukan mudah mengukur keterpurukan yang telah, dan sedang mengakar: baik dengan analisa regresif-liberal sekalipun. Karena pada saat yang sama capaian-capaian tradisi patut mendapatkan apresiasi. Bukan terpa bengis-caci. Atau bahkan, mencipta preposisi radikal dengan cara mendudukan—dengan sinis–modernitas di hadapan masa lalu sebagai lawan. Sehingga membenihkan kegagapan-kegagapan sosial pada bujang masa.

Pada masa yang tak terlampau jauh, pra Orde Baru telah menciptakan jiwa mulia semisal Pak Tarya; membangun idealisme mulia sebagaimana terejawentahkan pada sikap Kabul yang membela-mati gelar suci akademik; ibu Wiyoso yang menawarkan arti penting masa depan, yang lalu membuat Yos, sang putra, harus menimbang-setara cinta sebagai problema rasional dan egoisme. Cintapun mengenal etika, begitu kiranya prinsip yang ia pegang.

Lagi-lagi politik menggilas-retaskan kejujuran dan kesungguhan. Alih-alih mengangankan kesalehan sosial dengan janji visionaris, malah menjerumuskan Basar pada penyesalan atas pengalaman akademisnya. Sukses membuat mentas Ir. Dalsikin dari jurang kemiskinan, namun lalu menjadikannya sebagai hamba ke-glamor-an. Bahkan negara yang telah melegal-wajarkan segala bentuk ‘permainan’ instansif. “The country can do no wrong”, akhirnya pun menjadi asumsi yang harus merasuk-sakiti jiwa akademisi. Hingga lubuk hati sang Insinyur hidro, Samad, adik Kabul. Sungguh ironis, Revilatalisasi feodalisme kembali mempertaruhkan masa depan masyarakat. Bukan sekedar jembatan garapan Kabul yang tengah dipertaruhkan mutu serta masa pakainya, dan bahkan mimpi-mimpi kawula muda pun telah terbeli.

Aku memulai saat kabut kerutkan pagi dengan rejam dinginnya, dengan pertanyaan yang cukup mengiris: Dan tanah-pijakku, benarkah sedang menjalani masa “Orang-Orang Proyek”; mutu akademik dipertaruhkan dengan waktu dan kuasa suksesi instansi tertentu, tanpa menambah fasilitas kecuali hanya mengurangi kuantitas? Tanpa mendamba kualitas, akan tetapi memuja ‘usai lekas’? Atau, karena telah ada pada masa yang lebih kini, tanah-pijakku telah terjerembab pada dialektika ‘mati’, dan hanya berpotensi untuk menopang eksistensi—agar tetap eksis? Mana yang lebih pantas, menghitung semisal Kabul, atau menyembah semisal Ir. Dalsikin sang Pemborong itu?

Perihal Obsesi

Baik, semua seolah telah mengakui bahwa pendidikan ialah struktur. Dari dimensi lain, kultur pun turut melegitimasi bahwa, pendidikan adalah gedung-gedung sekolah; lembaga-lembaga; diktat-diktat; jadwal-jadwal; rapot, rangking, dan gelar-gelar. Fenomena positif pergeseran dari ‘yang tak beraturan’ menuju ‘keteraturan’. Melandasi asumsi ini ialah, setiap individu merupakan entitas ‘tak sempurna’ yang memiliki selaksa keinginan. Kalau boleh saya bayangkan, keinginan adalah relasi inter-subyektif dengan obyek-obyek yang kemudian menghasilkan bias: obsesi. Oleh karena itu, akan kita dapati bahwa relasi ini mewujud dalam pola interaksi ‘tak beraturan’.

Adalah kenyataan lain, relasi inter-subyektif dengan obyek-obyek tersebut tercover dalam pola hubungan yang lebih logis. Sengaja saya katakan logis karena, interaksi antara obyek-obyek dengan inter-subyektif ini mampu memompa kreatifitas individu dalam mencipta ‘anak obyek’. Bukan lagi pola interaksi simplistik yang terkatung oleh obsesi yang sama sekali fluktuatif: kembang-kempis, pasang-surut, naik-turun. Pada pola yang kedua, ‘anak obyek’ adalah hasil kinerja mekanistis nalar-subyek yang mencoba mengakumulasikan obyek-obyek. Oleh karena itu, siginifikansi obsesi bukan lagi hanya sebagai elemen motorik. Lebih dari itu, ia telah terlepas dari ‘ketidakberaturan’, lalu mengendap membentuk sebuah paradigma: semacam pola berfikir matang yang menuntut adanya langkah-langkah aplikatif ‘yang beraturan’.

Sebagai misal dari pola relasi inter-subyektif yang pertama ialah pola pikir anak didik—mulai dari—Taman Kanak-kanak, hingga Sekolah Menengah Pertama. Sekilas misal ini muncul dari cara berfikir linear, dan terlalu menggenalisir. Akan tetapi, melalui lembaga-lembaga pada taraf tersebut kita dapat melihat peran penting pemangku otoritas birokrasi dalam membentuk paradigma anak didik. Terlepas dari metodologi dan cara pendekatan yang digunakan oleh para pengajar, dapat kita lihat jelas bahwa pada masa-masa ini anak didik lebih cenderung meniru. Maka, akan menjadi problema tersendiri saat pendidikan telah digubah sedemikian rupa menjadi lembaga yang serba birokratis. Muncul semacam dualisme tak berimbang; pengajar sebagai ‘pekerja’—dalam maknanya yang ekonomis an sich, atau pengajar sebagai tonggak masa depan peradaban (baca: fenomena PNS dan dampak negatifnya terhadap psikologi anak didik).

Membincang pendidikan ialah menyoal psikologi anak didik. Menganalisa kecenderungan-kecenderungan. Sementara, psikologi anak didik pada usia senja—TK hingga SMP—ialah ragam psikologi individu yang lentur. Memiliki ketergantungan yang teramat kuat terhadap obyek-obyek, dan atau obsesi yang didapatkan. Obsesi yang muncul spontan dari persentuhan langsung antara nalar-subyektif dengan obyek yang ditangkapnya.

Harga sebuah Proyek

Konon ada sebuah masyarakat mahasiswa/i yang berada dalam pangkuan Ir. Dalfachir. Sebutlah kampong ‘sempalan’. Dihuni oleh lebih dari 5000 jiwa; baik mahasiswa ataupun mahasiswi. Diberi nama kampong ‘sempalan’, karena secara geografis ia terletak-terpisah jauh dari negara asalnya. Indonesia. Dan secara ontologis-kultural, kampong ini terletak di bagian kecil benua Afrika yang memiliki kultur Arab.

Pada dini masa jabatan, keresahan mendekapnya: prestasi anak didik menurun drastis. Maka, keresahan ini pun akhirnya menjadi tema pokok dalam acara rutin, Lokakarya. Ratusan stakeholders hadir, lalu muncullah konsensus-konsensus yang berupa kebijakan-kebijakan.

Apapun bentuk kebijakan tersebut, prestasi ialah bagian penting dari pendidikan. Namun, tidak kalah penting untuk menganalisa elemen-elemen pembentuk prestasi. Dan lebih penting lagi bersikap arif menilai unsur-unsur yang mempengaruhi spirit prestatif anak didik. Sehingga kebijakan-kebijakan tersebut tidak rentan—terhindar, dari penilaian peyoratif: kebijakan prematur!

Memandang kampong ‘sempalan’ ini, ada sebuah tuntutan untuk memposisikan mahasiswa sebagai subyek utuh. Mahasiswa yang memiliki nalar kreatif guna mencipta ‘anak obyek’ yang rigid dengan aplikasi-aplikasi ‘beraturan’. Maka, ada 2 titik nadi yang mesti tersentuh, sebelum masuk pada tahap perumusan-perumusan. Pertama: nalar kreatif, beserta unsur-unsur pembentuknya. Kedua: aplikasi-aplikasi yang tidak lepas-sinergis dengan kompleksitas sosio yang membantu mengontrolnya; mungkin berupa birokrasi-struktural, atau prinsip-prinsip privatif masing-masing individu.

Tak dinyana, kemungkinan kedua-lah yang disinyalir kuat telah banyak menopang kualitas pendidikan masyarakat kampong ‘sempalan’. Prinsip-prinsip privatif individu muncul sebagai reaksi positif atas format administrasi-struktural Universitas yang samasekali Arab(is). Maka tidak heran jika ada perbedaan definitif atas prestasi, antara Ir. Dalfachir dan masyarakat kampong ‘sempalan’. Karena bukan mustahil yang pertama memandang prestasi dari sudut pandang, ia (prestasi-red) sebagai bagian dari proyek birokrasi. Sementara yang kedua memandang prestasi sebagai keharusan-kompetetif. Terlepas dari adanya keterkaitan dengan prestatif menurut kacamata pendidikan struktural-birokratis ataupun tidak, yang jelas kurang etis jika menilai fenomena keterpurukan prestasi ini hanya dari satu sudut pandang. Apalagi bersesumbar dengan sedikit politis: “ini dunia proyek!”. Ironis![]

Determinisme Pendidikan; Hanya kata untuk buah Lokakarya

16 November. Patut dicatat sebagai hari disahkannya sebuah program yang kelak akan mempertemukan mahasiswa/i dengan para dosen dalam ruang-ruang khusus; mempertemukan keduanya pada waktu-waktu tersendiri; memadukan kedua belah pihak dimana yang disebut pertama seolah seorang pesakit yang tercengang oleh laku pihak kedua—para dosen –selaku dokter. Program inilah yang kita kenal dengan sebutan Fushul at-Taqwiyah. Sebuah program belajar yang sengaja dirilis guna menyokong prestasi Masisir.

Terlepas dari intensifitas dan besar-kecil pengaruh yang acap sebagai alas penilaian suksesi sebuah program, penulis tertarik, dan merasa perlu untuk melihatnya sebagai sebuah fenomen yang lahir sebagai efek dari dinamika sosial pendidikan. Bukan sebuah program yang muncul secara spontan, dan melulu dari manusia selaku homo faber. Sehingga rentan kritik, baik dari sisi landasan pikir yang kemudian membawanya menuju taraf ide, ataupun dari sisi politis-birokratif dimana program ini dimuncul-sahkan.

Kalau kita tarik pada titik sebermula progam ini, Fushul at-Taqwiyah ialah salah satu buah hasil dari Lokakarya yang diadakan April lalu. Gawe besar yang disinyalir akan menghasilkan ragam solusi melalui konsensus para Stakeholders mengenai penanganan terhadap kerapuhan prestasi Masisir. Dan benar, lahirlah beberapa kebijakan meskipun mayoritas lebih bersifat rekomendasif (baca: Draf hasil Lokakarya). Di sini, prestasi Masisir merosot adalah sebuah premis. Melemahnya prestasi menjadi akar masalah yang penting untuk segera diatasi. Pada sisi lain, tentu kita tidak bisa menafikan bahwa kualitas Masisir sangat koheren, dan berbanding lurus dengan kualitas Kedutaan sebagai pemangku kuasa.

Terkait dengan Fushul at-Taqwiyah sebagai efek dari dinamika sosial pendidikan, ini tidak berarti bahwa program tersebut—dengan segala aturannya –muncul atas “desakan sosial”. Sebuah teori yang dicipta oleh Henri Bregson dalam analisisnya terhadap moral dan kehidupan etis, sekaligus sebagai counter atas rasionalitas Kant (baca: Filsafat Barat). Yang menarik ditilik bukan perhelatan antara peran insting dan rasio dalam menilai, membandingkan, lalu memutuskan. Akan tetapi, bagaimana kita melihat—tepatnya menilai—Fushul at-Taqwiyah sebagai sebuah efek dinamika sosial pendidikan dan pada saat yang sama ia adalah produk dari tahapan “evolusi kreatif” (meminjam istilah Bregson) yang potensial untuk berkembang secara terus-menerus. Pada taraf penilaian ini, tentu kita telah menelanjangi Fushul at-Taqwiyah dari bingkai programnya: kembali pada ‘embrio’ yang memicu semangat prestatif secara murni. Menurut saya, ini lebih mendasar daripada ia sekadar sebuah program yang bersifat ‘semu’dan sangat birokratis.

Pada tatanan realitanya, Fushul at-Taqwiyah berjalan masih sebagai sebuah program. Ini yang layak disayangkan. Entah disengaja ataupun tidak, yang jelas ia terjebak dalam kerangka program yang sangat mekanistis, dan tidak menyentuh—alih-alih mampu merangsang –elan vital prestasi pendidikan itu sendiri. Kemudian sangatlah layak jika pretasi yang diimingkan sebagai wujud nyata dari kualitas dan mutu intelektual diduduk-sandingkan dengan nilai yang serba formalis-birokratis.

Sampai di sini sebenarnya kita dihadapkan pada kontradiksi antara kualitas versus prestasi. Pertikaian yang lamat-lamat ada dimana kualitas tidak terkandung secara apik dalam prestasi formalis-birokratis. Dan sebaliknya. Namun, tidak semestinya kita larut dalam pembahasan ini. Karena hal ini, menurut penulis, adalah realita yang sama sekali tidak bijaksana meski samar adanya. Realita yang lebih menarik dilirik ialah bahwa Masisir di sini diposisikan sebagai masyarakat yang sama sekali unconcious (Tak sadar): semua laku studi-nya harus dideterminir oleh aturan-aturan formal-legitimasif. Maka, dengan serta-merta logika-kreatif, cita-cita, keinginan, dan segala struktur serta psikologi individu yang memotori laju kehidupan masyarakat, dilawankan dengan keadaan unconcious. Pada titik inilah sinergitas antara nilai dasar pendidikan dan program yang memiliki cita prestatif hengkang.

Sebuah program yang semestinya selaras dengan visi-misi serta epistema falsafi, dalam hal ini mampu mendobrak batas kesadaran masyarakat akan nilai dasar pendidikan, malah dinilai kuat, bahkan mengacuhkan ke-‘tidak sadar’-an tersebut dengan menjejali program baru yang lebih ideal-formalistik-deterministik. Selintas lalu pendapat ini mengindikasikan adanya tuntutan kebebasan. Dan memang kebebasan penting ada, dan dimiliki, bukan ia yang seringkali diartikan sebagai “liar dan tanpa aturan”. Namun, lagi-lagi penulis mengacu pada pemikiran filosofis Henri Bregson yang memaknai kebebasan sebagai kesadaran yang berupa gerak, perkembangan, peralihan terus-menerus. Karena kesadaran ialah bersifat dinamis dan kreatif.

Dalam ranah yang lebih fundamental, pendidikan tidak lain adalah sebuah proses yang mempunyai potensi utama sebagai pembina hidup manusia menuju taraf kehidupan yang lebih layak, mulia dan bijak. Sehingga ia berpotensi menggerakan rasio, menuntun logika dan menilai ilham secara sinergis; baik dalam alam sadar ataupun alam bawah sadar. Lalu seiring kemudian ia mengenal dan terejawentahkan dalam sistem-sistem yang lebih partikular. Maka, penulis rasa kurang etis jika sebuah program yang diciptakan dan disinyalir kuat sebagai penyokong prestasi malah membawa insan pelajar pada realita birokratisasi pendidikan.

Fushul at-Taqwiyah sebagai sebuah program yang dicanangkan guna menekan prestasi akademik Masisir patut kita dukung. Namun begitu, akan fatal jika program ini tinggallah sebuah program yang menghantarkan Masisir hanya pada pretasi akademik yang bersifat simbolik; menuntun Masisir menuju altar event ‘Takrim an-Najihin’; membina Masisir untuk tunduk pada diktat literalis, tanpa harus mengenal analisa kritis. Maka tradisi baca, berfikir, menganalisa, berdiskusi, menulis, akan semakin tergilas. Kecuali hanya dimiliki oleh segelintir orang, yang—bahkan–lebih layak dihukumi ketiadaanya samasekali. Bahkan, opini kritis yang mungkin memicu munculnya polemik (sebagai sebuah tradisi intelektualitas yang sehat) acapkali dipupus-hentikan dengan cara—yang menurut sebagian kalangan ialah santun, kekeluargaan.

Sebagai sebuah catatan, setiap individu manusia—dengan segala kompleksitasnya—memiliki berbagai potensi yang mungkin muncul-meretas, tentu bukan tanpa pemicu. Di sini unsur sosio-kultural, sosio-ekonomi, sosio-religi, dan mcam lainnya memiliki pengaruh yang cukup kuat. Mengapa prestasi akademik Masisir merosot? Mungkinkah fasilitas yang masih kurang memadai? Mungkinkah sosio-religi dengan ragam perdebatan ideologisnya ikut andil? Mungkinkah sosio-ekonomi telah menghimpit semangat akademik? Mungkinkah sosio-kultur, politik, ikut berperan dalam keterpurukan ini? jawabannya ialah semuanya mungkin[]

Sunday 19 April 2009

Sajak Sana-Sini


Catatlah!
Kalian di sana
Dan saya di sini
Ada sebuah takdir yang sengaja di-be-ri
Dan tempuh-saut setipis lamat gedebog-gedebog pisang

Catatlah!
Kantor-kantor bukan badan prediksi
Tepat mujur, melesetpun tetap mujur
Lembaga-lembaga bukan tempat bersesaji
Terkabul syukur, tertolakpun harus ada tasyakkur
TPS-TPS bukan kotak amal
Kertas-kertas bukan lembaran togel

Kutatap masa depan sepi akan nasehat-nasehat
Kebijakan-kebijakan seperti bau kentut!
Dan semua pandai menganggap
Yang anggapan yang logis
Yang prediksi yang masuk akal
Yang dibincang ialah segala yang 'menjadi'

Aku di sini!
Kalian di sana!
Maka, bolehlah aku berkata
Karena boleh tidak cukup dengan 'iya'
Karena boleh adalah stempel-stempel
Karena boleh adalah kewajiban
Karena boleh bukan lagi hak dan kebebasan

Kubiarkan dinding itu tetap tegak
Memetak lapisan-lapisan
Menyekat kata dan kasta
Lalu aku bersembunyi
Seperti anak kecil di balik tembok-tembok tua
Aku akan berkata saat mereka terpejam
Menghentak saat mereka lena
Lalu kita tertawa


Wednesday 8 April 2009

Sajak Contreng


Pagi ini..
Gedung-gedung sekolah terkunci
Papan-papan tulis, kursi, meja, dan segalanya
Berserapah!

Pagi ini..
Burung-burung ngemil tanpa was-was
Di setiap tangkai
Di sepanjang pantai, pesisir, dan rawa-rawa
Layar-layar terlipat lusuh!
Kerbau, sapi, dan kambing-kambing memamah pilu!

Pagi ini..
Pedal-pedal tak terkayuh
Cangkul dan caping menjadi ejekan alap-alap
Seragam-seragam menjadi asrama lalat-lalat comberan

Telah kuhitung detik-detik pada setiap jarum jam
Kutambahkan
Kulipatkan
Namun layar kalkulator terlalu sempit
Angka-angka habis pada bilangan Nol
Rekapitulasi nanar
Tidak ada keuntungan!
Sedang kerugian pun tak diperhatikan!

Hari ini..
Becak, ojek, kereta, bus-bus...absen
Panji-panji bernomor berkibar
Dan sang saka?!
Hilang entah dimana...

Nusantara biru
Nusantara merah
Nusantara putih
Nusantara kuning
Nusantara telah berwarna
Dan bernomor!

Hari ini..
Setitik tinta tentukan bangsa
Konon mereka tengah menuliskan nasib-nasib
Bukan aksara-aksara

Jaka Edan
09 April 2009

Surat Pungkas Zacky


Jaka Edan yang lugu,

Telah kubaca sempurna lembaran-lembaran yang kau titipkan untukku. Aku akui kau pandai menyusun kata. Setidaknya aku bisa merasakan bahwa apa yang kau tulis tidak akan pernah sanggup kau ucapkan. Kuamati kau, dalam 6 lembar suratmu, seolah tengah berceloteh. Mungkin juga kau tengah merajuk. Atau, kau sedang jujur dengan segala yang terlintas di hati. Ia seperti petikan-petikan senar gitar. Menembus seruang hampa hatiku. Saat airmata menenggelamkanku dalam kepedihan, kau ulurkan temali. Dengan begitu, kembali dapat kuhirup nafas. Namun, jangan lalu kau menganggap dirimu sebagai pahlawan. Karena kehidupan berjalan tidak seperti air. Dan kamu, aku, atau sesiapa saja telah mengerti akan irama dunia yang kini mengulun masa. Bukan lagi dunia kapitalis.

Satu hal yang sulit kau pahami: tidak semua harus kau sampaikan panjang lebar. Mungkin kau tengah sok filosofis. Aku akan terus mencoba menghargainya. Dan kau perlu sadar, diksi yang kau gunakan samasekali tak kukenal. Pada kesempatan tertentu, kecerdasan memang seperti ilham. Atau, ia lebih layak disebut kebetulan. Peka terhadap ‘yang tak terduga’. Sehingga memang pantas disebut ke-be-tu-lan. Ya, dan kau tak perlu mengagumiku sebagai yang tahu akan banyak hal. Jika aku lebih sering menggunakan diksi oratori forensik, itu karena memang yang aku suka. Tentu akan kontras dengan kamu yang lebih suka berorasi gaya deliberatif.

Jaka, bingkai lukisan nama yang kau toreh dengan tinta mega telah kuterima. Aku tersanjung. Pernik kilat cahaya, satu dua bintang, membingkis secarik namaku yang kau tulis. Entah seberapa lama kau pampang bingkai ini di hadapan cakrawala, di depan gereja puncak Turisinai. Sehingga nampak bercak-bercak malam tebarkan sendu. Mungkin kau telah menduga. Berarti sebuah kabar gembira bagiku; ke-edan-anmu kian reda. Tapi,

Jaka Edan, tak kusangka kau benar-benar edan,

Mungkin kamu tidak pernah menyangka bahwa, apa yang kau sampaikan sangatlah mengejutkan. Namun, lagi-lagi kita berada di dunia nyata. Dunia yang telah dipenuhi oleh kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan-kepentingan. Oleh karena itu, perlu sesekali untuk berfikir praktis. Ya, praktis! Tahukah kamu bahwa umur perempuan tidak sepanjang umur kaum lelaki?! Ini penting untuk kau mengerti. Dengan begitu, maka sekian persen kamu telah menghargai seorang perempuan. Gadis, tepatnya.

Kau gemar menganggapku seolah kupu-kupu. Karena ia identik dengan kecantikan, anggun, dan lembut. Sebagai gadis, aku tak perlu malu untuk mengakui bahwa aku tersipu, bangga, dan tersanjung. Namun, kau lupa menerka; sejauh apa kupu-kupu itu terbang? Ia tidak cukup tenaga untuk mengarungi samudra. Atau ia benar-benar tidak berumur panjang (?). Seperti aku. Ini bukan persoalan tradisi seperti yang kau duga. Tepatnya, bukan semua disebabkan oleh karena tradisi yang telah memasung kaum perempuan. Memang, perempuan tercipta seakan untuk ‘dimiliki’. Dengan begitu, kau akan mudah menuduhku sebagai ‘yang terbunuh’. Aku akui bahwa menjadi ‘yang dimiliki’ memang sangatlah berat. Sakit. Tersiksa. Dan kau sepakat: itu hanya dialami oleh perempuan-perempuan abad lalu. Perempuan-perempuan gundik. Atau, sebagai istri sah pun tidak mempunyai hak banyak. Saya tidak sedang memperebutkan hak. Akan tetapi sejarah menuliskan: perempuan adalah kaum tertindas. Bukankah kau pernah menuliskan email yang berisi pujian-pujian terhadap sosok Nyai Ontosoroh? Kau deskripsikan bagaimana seorang nyai-nyai memiliki keberanian dan keteguhan guna mempertahankan hak. Aku masih ingat kau menyebut novel yang kau kagumi itu: ‘Bumi Manusia’.

Tidak Jaka, aku tetap memiliki cita-cita. Dan aku pun selalu mempertahankan hak, sebagaimana aku menjalankan kewajiban-kewajiban. Aku tidak akan dimiliki secara sempurna. Saya harap kau tidak terlalu bodoh memahami kata ‘dimiliki’. Meskipun akan ada seorang lelaki yang meminang, lalu membawaku dalam tandu pengantin, aku akan lega menjadi seorang istri. Bukan yang ‘dimiliki’. Kewajiban-kewajiban sebagai seorang istri tentu akan aku jalankan atas dasar cinta dan keikhlasan. Karena perintah-perintah bukan perkara wahyu yang tak mengenal dialog, atau kompromi. Maka, tentu aku akan tetap lapang menerima hak-hak yang semestinya aku dapatkan.

Jaka yang tak akan pernah waras,

Mungkin kau telah lebih dulu dewasa dariku. Tapi, dalam umurku yang tidak seberapa lama, aku telah lebih dulu mengerti. Boleh saja kau mengusung segudang kata puja, kagum, dan cinta. Aku juga akan menghargai segenap cinta yang kau persembahkan. Sekali lagi, cinta bukan sekedar perihal hati. Janji dan kepastian-kepastian pun jangan kau anggap sebagai bukti kesetiaan. Kepastian yang sesungguhnya, bagi seorang perempuan—setidaknya bagiku, ialah detik dimana kau datang untuk meminang. Lalu, dalam jeda yang singkat kau berikrar di depan penghulu dengan penuh tanggung jawab. Dan lagi, pernikahan bukan perkara sederhana. Kau tidak perlu pura-pura tidak tahu.

Saya yakin kau masih, dan akan senantiasa mengingat hari itu. Dan aku juga telah mengira akan kepolosanmu. Cukup mengherankan, kau tetap teguh dalam kebodohanmu. Karena sejak awal aku telah mengira: kau tidak banyak tahu perihal cinta. Maka, dalam surat ini aku akan sedikit mengguruimu. Tentu aku memiliki tujuan. Ya, tujuan yang—bagiku—sangat mulia: agar kau tidak mudah menganggap perempuan sebagai makhluk keji. Kusangka kau cukup cerdik dan jeli membaca kisah cinta Annelis. Paling tidak kau tidak mudah terjebak hanya pada cinta yang begitu mendalam, dan tidak mengenal kasta. Sengaja saya ibaratkan dengan kasta, karena masa dimana Minke tergila-gila dengan Annelis ialah masa dimana kasta sangat penting. Ia mampu menoreh takdir. Keinginan-keinginan pupus ditelapak kaki Ayah. Atau, segala mimpi akan tergilas dalam tangga piramida sosial. Semisal kasta yang terbentuk bukan hanya oleh garis suci keturunan, ekonomi juga sangat menentukan. Ternyata, kau pun tidak memahami bagaimana perasaan cinta Annelis yang kaya raya itu terbentuk. Kau terburu menganggapnya muncul laiknya ilham. Ilham, ilham, dan ilham. Oh, God…betapa gegabahnya dirimu, Jaka. Ingatkah kau bagaimana sang kakak kandung Annelis, Robert, memperlakukannya? Adakah kau alpa pada baris-baris dimana Pramudya, sang penulis, melukiskan kemurungan Annelis? Ah, kau tidak sungguh-sungguh dalam membaca novel itu. Kau hanya sok tahu, dan mengandalkan brainstroming saja. Lalu predicting, dan tergesa masuk dalam kemelut cinta yang memang mencekam. Ingat! Yang kau baca adalah novel, tetralogi, bukan berita atau kolom yang selalu sok cerdas dan tangkas.

Baik, semoga dalam ke-edan-an kau masih sanggup berfikir,

Jujur, dengan susah payah aku menulis surat ini. Otakmu lamban. Hatimu juga telah pekat. Mestinya kau menyadari, dan peka. Politis, sebutlah begitu. Karena cinta adalah kompetisi. Bukan lalu karena kau kere, sehingga tidak sanggup memasang slogan-slogan, pamflet, atau negoisasi sana-sini. Bukan pula karena kau tidak pandai berorasi, sebagaimana mestinya seorang politisi. Tapi, yang kau perebutkan adalah kehidupan. Sisa-sisa umur seorang gadis, tepatnya. Umur 23 tahun, bagi seorang gadis, jangan kau samakan denganmu pada umur yang sama! Pada usia ini seorang gadis tak ubahnya seorang kakek yang telah ompong, renta, pikun, dan sakit-sakitan. Dan kau tidak bisa memenangkan kompetisi itu! Tentu karena sekarang aku telah bersuami, Jaka. Suami yang tak segan membelai, memanjakan, pun dengan sepenuh hati mengayomi dan melindungiku. Perlu kukatakan ulang, bahwa aku bukan budak tradisi. Meski kadang telingaku panas, risau, oleh bisik mereka; ‘Lihat! Mahasiswi, 23 tahun, kok belum mempunyai calon,”. Ah, kau memang perlu banyak membaca ilmu psikologi dan ilmu-ilmu sosial. Sehingga kau sanggup membaca seperti apa, bahkan mungkin bagaimana mestinya masyarakat kita.

Jaka, ini adalah kali terakhir. Sebuah jawaban. Aku menulisnya dengan penuh kepedihan. Bagaimana tidak?! 10 menit yang aku luangkan menjadi tidak bermakna. Samasekali! Kau tahu? Harusnya dalam 10 menit aku telah mengembara. Berkeliling dan singgah pada setiap keindahan. Tentu bersama suamiku. Bukan hanya gereja lapuk Suncatrine dimana kau mengharapkanku hadir, dan menyaksikan mentari terbit. Ya, aku dan kamu. Tapi, berhentilah bermimpi. Atau hentikan semua sajak, puisi, dan cerita-ceritamu. Tentu, dalam alam pikir dan imaji kau pun telah sampai bumimu sendiri. Kau injakkan kakimu, lalu kau bersajak tentang bumi. Dunia-dunia sajak. Keberanian dalam sajak. Kesetiaan dalam sajak. Kebijakan-kebijakan dalam sajak. Namun perlu, dan harus kau catat tebal-tebal: bagi seorang istri, suami bukanlah janji, atau bahkan sebatas sajak!

Buatlah sebuah lukisan. Untuk dirimu sendiri. Atau, tulislah sebuah kaligrafi. Di sana kau akan mencatat kata singkat: ‘aku tertipu”.

Selamat tinggal wahai sang Edan,

Zacky


Sang Narator


Pelan kau iris gelap. Mesra. Sehingga jerit gulita samar. Tidak terdengar samasekali. Paruh tubuhmu merah. Seperti merah darah, namun penuh pijar. Puluhan, ratusan, hingga ribuan perawan berduyun kemudian. Berdendang di tepi telaga: Sebuah kubang air jernih, dan dipagari cemara-cemara. Pun ragam sekar yang tak pernah mengatup. Telaga Perawan, demikian legenda menyebutnya. Konon bening airnya mampu melipat masa: tidak ada tua-muda. Hanya ada belia.

Pilu menusuk. Satu dua bulir menitik dari sudut mata. Gerimis mendesah. Tanpa resah. Dan pak Tua akan semakin girang melanjutkan cerita sembari menunjuk: “anak-anak, lihat! Bidadari-bidadari itu tengah mandi,” ucapnya. Lalu semua tersipu oleh bayangan masing-masing. Nampak 3 kawan perempuan malu. Mereka mengulum dalam senyum-senyum kebocahan. Mungkin masing-masing tengah menjadi bidadari, tuduhku. Sementara 2 kawan laki-laki semakin mengawan. Dari mata dan mimiknya, mereka tengah girang dalam khayal.

Aku geram. Pak Tua selalu enggan menurunkan bidadari-bidadari itu dari tempat yang ia cipta. Kenapa?, tanyaku, tidakkah pak Tua mendamba kecantikan, keindahan, dan kemolekan?. Ah, dan benar Pak Tua tidak akan pernah menjawab. Dan akan selamanya enggan untuk membiarkanku sekedar mengenal, atau mengucapkan kekaguman.
Lalu semuanya menyanyi seiring aba dari Pak Tua:

Pelangi-pelangi… betapa indahmu
Merah kuning hijau…di langit yang biru


Di kemudian hari, aku tak lagi perlu bertanya. Pada Pak Tua sekalipun. Karena ia telah mati. Beserta bidadari-bidadarinya.

Kini aku berani mencibir pak Tua. Tidak perlu khawatir kualat! Karena di depanku gedung-gedung mall menjulang bertingkat. Gedung-gedung yang benar-benar dapat kuraba. Aku tidak lagi mengitari telaga-telaga gemerlap, dan tersipu oleh wewangian. Hingga kemudian aku, seperti kawan-kawan yang lain, hanya dapat bernyanyi memuja kahyangan. Mengiba pada bidadari-bidadari yang tak pernah kukenal. Alam yang mungkin hanya sebatas tempat singgah bocah-bocah seumurku. Karena hidup perlu cita-cita, kata Pak Tua, dan dengan cerita-cerita mungkin kau akan mendapatkan harapan.

Aku mengenal gincu sebagai perempuan. Aku menghirup parfum-parfum, seperti bunga ‘Telaga Perawan’ Pak Tua yang tak pernah mengatup. Dan kulihat puluhan, ratusan, bahkan ribuan bidadari. Semuanya mewujud dalam bentuk perempuan. Mereka tengah bernyanyi, bersorai, bercengkerama. Di café-café mall yang aku singgahi. Di sepanjang jalan. Bahkan di sudut-sudut gang. Televisi, koran-koran, majalah-majalah, dan sejumlah media, tidak seperti Pak Tua yang selalu berbelit. Hingga aku mengerti: bidadari-bidadari adalah perempuan. Tidak perlu berbelit. Karena mereka telah lebih jujur.

Melalui Hp, Internet, Video-video, aku mengetahui bahwa perempuan bukan hanya lawan kata lelaki. Nyatanya masing-masing memiliki kelamin beda. Ah, sejak kapan aku mengenal kata kelamin! Bahkan aku telah berani mengklaimnya sebagai pembeda intim antara lelaki dan perempuan! Tentu pak Tua marah! Dan aku akan ditamparnya jika berani melontar kata-kata itu. Dan tidak akan pernah terfikir samasekali. Karena aku hanya merindu keindahan! Dan aku geram oleh laku Pak Tua yang berbelit. Sampai kapan ia akan membuatku lena? Sementara aku berharap, ya, berharap agar keindahan menemani di sepanjang sadarku. Bidadari-bidadari telaga itu, tentunya.

Dan kini, film-film itu telah lebih lihai. Ia tidak sekedar bercerita, lalu menawarkanku ragam simpul khayali. Ia tengah berlagak. Bukan sekedar laku pantomim. Dan ia memiliki perempuan-perempuan. Seperti bidadari-bidadari dalam cerita Pak Tua.
Konon film-film itu tengah bicara: mencibir pasar-pasar kotor, menyindir kecongkakan para juragan dan tengkulak, mencela perut pejabat yang kian tambun. Namun begitu, ia adalah satu dari sekian kreatifitas seni. Ia perlu ruh, kata seorang sinematografis, “oleh karena itu ia perlu ‘bumbu’ agar tidak kaku,” terangnya. Namun begitu, aku tidak pernah mendengar Pak Tua bercerita tentang kemolekan. Tentang tubuh. Tentang kelamin. Alih-alih senggama Nabi Musa dengan putri penggembala yang dinikahinya:
“Kambing-kambing gembalaan putri Ya’qub mengembik lantaran terik. Kadal-kadal gurun pun merangkak girap menuju sebalik rumput. Sang putri gelisah. Dan Musa pun akhirnya mengerti. Keduanya bertatapan sejenak..”

Belum usai narasi Pak Tua, Narti menunduk-malu: sok tahu. Pun Narto, kakaknya, yang kemudian tertawa ringan. Seperti aku yang berusaha menebak, meski terpapas segan. Sedang Parjan diam-diam melirik Narti yang memang lentik. “Ah, bocah 8 tahun tau apa,” batin Pak Tua sembari terkekeh penuh wibawa, teduh. Ia benar-benar memahami bahwa ada semacam insting yang akan dibimbing oleh alam. Bukan oleh cerita, sehingga mereka piawai. Begitupun layaknya seorang narator handal, pak Tua mengerti bahwa jiwa, hati, nalar, dan insting, merupakan salah satu pintu masuk sebuah pesan. Maka, Pak Tua pun menyentuhnya;’Lalu mereka jatuh cinta,’ singkatnya, lalu terburu kembali pada cerita kegigihan dan ketabahan seorang Musa.

Pak Tua telah mati. Pergi, bersama bidadari-bidadarinya.

Nur resah. Anak semata wayang, Rida, telah lebih pandai bernyanyi. Sekali-duakali ia pamer rancak goyang. Perutnya lentur, hingga mampu mencipta semacam gerak mematah. Enerjik, sehingga tidak sulit untuknya berputar-meliuk tak ubahnya bor kayu. Bayangkan! Rida lahir 7,5 tahun yang lalu. Dan ia pun telah mengenal gincu.
Aku menikah dengan Nur 10 tahun yang lalu. Saat usia perkawinan menginjak 1,5 tahun, Nur mengandung. 2 tahun kemudian, dalam temaram sayup kudengar Pak Tua bercerita padaku. Bukan tentang ‘Telaga Perawan’, atau tentang bidadari-bidadari. Lalu akupun bertanya;

“Pak Tua, cerita apalagi yang hendak kau sampaikan?”
“Tidak, ngger, kali ini bapak ingin mendengarmu bercerita,”
“Kenapa? Tidak! Aku tidak pandai bercerita,”
“Ya, karena bapak telah melihat, menemui, dan menjamah bidadari-bidadari itu,”
“Bukankah itu yang Pak Tua inginkan?”
“Baik. Jika memang begitu anggapanmu, bapak ingin bertanya; adakah perempuan-perempuan bidadarimu, yang telah kau jamah, atau semua yang mungkin kau raba, membawamu pada keindahan seperti yang kau rasakan selepas mendengar cerita ‘Telaga Perawan’?
“Apakah Pak Tua juga akan menanyakan pertanyaan yang sama pada si Narti?”
“Sayang, kamu tidak sempat menjadi seorang Narator. Sutradara pun tidak. Jangankan menulis sekenario, atau cerita. Maka, kamu tidak pernah merasakan kepedihan-kepedihan mereka. Juga seorang Narator..”
“Kenapa? Merasa berdosa karena telah menipu pendengar, penonton?”
“Justru karena mereka tidak tertipu, lalu menjadikan tokoh sebagai puncak harapan dan yang harus ditiru, sang Narator sedih. Ia merasa telah membatasi, dan membunuh para pendengar, penonton, sehingga mereka tak lebih dari bonek-boneka. Atau, seperti wayang yang tak mampu menulis cita, keinginan, dan harapannya sendiri, dan sebaik mungkin,”

Pak Tua beralih. Ia tak nampak lagi. Sejenak aku masih berfikir. Dan saat gelap menjelma menjadi alam yang tak pernah aku kenal, aku hanya bisa berbisik:Oh, Rida…seandainya bapak sempat bercerita, akan aku sampaikan sebuah cerita ‘Singgasana Putra Mahkota’ padamu.[]

Jaka Edan
Selasa, 8 April 2009


Wednesday 1 April 2009

Teruntuk Senja

Aku celupkan pena pada semangkuk mega
Di atas sebidang senja
Di atas gelombang awan kemuning
Kutuliskan sebuah nama
Lalu cahaya emas solek bibir remang
Senja, jangan kau terburu lelap!

Aku celupkan pena pada semangkuk mega
Saat remang kian menggenang
Saat obor-obor Badui memudar
Dan kulihat oase-oase tak lagi bergeming
Kubingarkan gereja kelam di kuncup bukit gersang
Senja, lenggamkanlah sepatah kata!

Gumintang luruh
Semaikan sajak rindunya di atas ranting korma
Jemari musim gelitik pori gemunungan pasir
Dan cadas-cadas lantak oleh jerit tangis mayapada

Senja, dengarlah…
Saat remang berpapas dengan gulita
Tiadakah semburat putih kau dapati
Sebelum ia samar dan menjadi bintik awan?

Jaka Edan
01 April 2009

Followers

Catatan Gila © 2008 Template by Dicas Blogger.

TOPO