Monday 20 April 2009

Antara Proyek Dalsikin dan Proyek Dalfachir

(Sebatas refleksi atas ambiguitas proyek di kampong ‘sempalan’)

Kenyataan-kenyataan bukan kurang benar atau lebih benar, tetapi kurang diketahui atau lebih diketahui saja
[S.M. Liverty]


Aku memulai saat kabut kerutkan pagi dengan rejam dinginnya. Dalam jeda waktu dimana aku terlipat-gilas oleh cerita “Orang-orang Proyek” karya A. Tohari, yang melukis idealisme Si anak gaplek dan thiwul; demi penghormatan atas ilmu mulia yang tergantung-genggam pada gelar, Kabul, melepas-lapang sebuah proyek awal yang siap menguji-buktikan ke-Insinyur-annya; saat aku harus mengakui Si impoten, Pak Tarya, yang berwibawa di balik senandung falsafi Asmaradana dengan iringan siul lirih seruling bambu; dan saat aku tersadar akan iba Pak Kades, Basar, terhadap kondsi sosial-religius masyarakat yang tergumam nyata pada cerita ber-setting waktu 17 tahun silam.

Bukan mudah mengukur keterpurukan yang telah, dan sedang mengakar: baik dengan analisa regresif-liberal sekalipun. Karena pada saat yang sama capaian-capaian tradisi patut mendapatkan apresiasi. Bukan terpa bengis-caci. Atau bahkan, mencipta preposisi radikal dengan cara mendudukan—dengan sinis–modernitas di hadapan masa lalu sebagai lawan. Sehingga membenihkan kegagapan-kegagapan sosial pada bujang masa.

Pada masa yang tak terlampau jauh, pra Orde Baru telah menciptakan jiwa mulia semisal Pak Tarya; membangun idealisme mulia sebagaimana terejawentahkan pada sikap Kabul yang membela-mati gelar suci akademik; ibu Wiyoso yang menawarkan arti penting masa depan, yang lalu membuat Yos, sang putra, harus menimbang-setara cinta sebagai problema rasional dan egoisme. Cintapun mengenal etika, begitu kiranya prinsip yang ia pegang.

Lagi-lagi politik menggilas-retaskan kejujuran dan kesungguhan. Alih-alih mengangankan kesalehan sosial dengan janji visionaris, malah menjerumuskan Basar pada penyesalan atas pengalaman akademisnya. Sukses membuat mentas Ir. Dalsikin dari jurang kemiskinan, namun lalu menjadikannya sebagai hamba ke-glamor-an. Bahkan negara yang telah melegal-wajarkan segala bentuk ‘permainan’ instansif. “The country can do no wrong”, akhirnya pun menjadi asumsi yang harus merasuk-sakiti jiwa akademisi. Hingga lubuk hati sang Insinyur hidro, Samad, adik Kabul. Sungguh ironis, Revilatalisasi feodalisme kembali mempertaruhkan masa depan masyarakat. Bukan sekedar jembatan garapan Kabul yang tengah dipertaruhkan mutu serta masa pakainya, dan bahkan mimpi-mimpi kawula muda pun telah terbeli.

Aku memulai saat kabut kerutkan pagi dengan rejam dinginnya, dengan pertanyaan yang cukup mengiris: Dan tanah-pijakku, benarkah sedang menjalani masa “Orang-Orang Proyek”; mutu akademik dipertaruhkan dengan waktu dan kuasa suksesi instansi tertentu, tanpa menambah fasilitas kecuali hanya mengurangi kuantitas? Tanpa mendamba kualitas, akan tetapi memuja ‘usai lekas’? Atau, karena telah ada pada masa yang lebih kini, tanah-pijakku telah terjerembab pada dialektika ‘mati’, dan hanya berpotensi untuk menopang eksistensi—agar tetap eksis? Mana yang lebih pantas, menghitung semisal Kabul, atau menyembah semisal Ir. Dalsikin sang Pemborong itu?

Perihal Obsesi

Baik, semua seolah telah mengakui bahwa pendidikan ialah struktur. Dari dimensi lain, kultur pun turut melegitimasi bahwa, pendidikan adalah gedung-gedung sekolah; lembaga-lembaga; diktat-diktat; jadwal-jadwal; rapot, rangking, dan gelar-gelar. Fenomena positif pergeseran dari ‘yang tak beraturan’ menuju ‘keteraturan’. Melandasi asumsi ini ialah, setiap individu merupakan entitas ‘tak sempurna’ yang memiliki selaksa keinginan. Kalau boleh saya bayangkan, keinginan adalah relasi inter-subyektif dengan obyek-obyek yang kemudian menghasilkan bias: obsesi. Oleh karena itu, akan kita dapati bahwa relasi ini mewujud dalam pola interaksi ‘tak beraturan’.

Adalah kenyataan lain, relasi inter-subyektif dengan obyek-obyek tersebut tercover dalam pola hubungan yang lebih logis. Sengaja saya katakan logis karena, interaksi antara obyek-obyek dengan inter-subyektif ini mampu memompa kreatifitas individu dalam mencipta ‘anak obyek’. Bukan lagi pola interaksi simplistik yang terkatung oleh obsesi yang sama sekali fluktuatif: kembang-kempis, pasang-surut, naik-turun. Pada pola yang kedua, ‘anak obyek’ adalah hasil kinerja mekanistis nalar-subyek yang mencoba mengakumulasikan obyek-obyek. Oleh karena itu, siginifikansi obsesi bukan lagi hanya sebagai elemen motorik. Lebih dari itu, ia telah terlepas dari ‘ketidakberaturan’, lalu mengendap membentuk sebuah paradigma: semacam pola berfikir matang yang menuntut adanya langkah-langkah aplikatif ‘yang beraturan’.

Sebagai misal dari pola relasi inter-subyektif yang pertama ialah pola pikir anak didik—mulai dari—Taman Kanak-kanak, hingga Sekolah Menengah Pertama. Sekilas misal ini muncul dari cara berfikir linear, dan terlalu menggenalisir. Akan tetapi, melalui lembaga-lembaga pada taraf tersebut kita dapat melihat peran penting pemangku otoritas birokrasi dalam membentuk paradigma anak didik. Terlepas dari metodologi dan cara pendekatan yang digunakan oleh para pengajar, dapat kita lihat jelas bahwa pada masa-masa ini anak didik lebih cenderung meniru. Maka, akan menjadi problema tersendiri saat pendidikan telah digubah sedemikian rupa menjadi lembaga yang serba birokratis. Muncul semacam dualisme tak berimbang; pengajar sebagai ‘pekerja’—dalam maknanya yang ekonomis an sich, atau pengajar sebagai tonggak masa depan peradaban (baca: fenomena PNS dan dampak negatifnya terhadap psikologi anak didik).

Membincang pendidikan ialah menyoal psikologi anak didik. Menganalisa kecenderungan-kecenderungan. Sementara, psikologi anak didik pada usia senja—TK hingga SMP—ialah ragam psikologi individu yang lentur. Memiliki ketergantungan yang teramat kuat terhadap obyek-obyek, dan atau obsesi yang didapatkan. Obsesi yang muncul spontan dari persentuhan langsung antara nalar-subyektif dengan obyek yang ditangkapnya.

Harga sebuah Proyek

Konon ada sebuah masyarakat mahasiswa/i yang berada dalam pangkuan Ir. Dalfachir. Sebutlah kampong ‘sempalan’. Dihuni oleh lebih dari 5000 jiwa; baik mahasiswa ataupun mahasiswi. Diberi nama kampong ‘sempalan’, karena secara geografis ia terletak-terpisah jauh dari negara asalnya. Indonesia. Dan secara ontologis-kultural, kampong ini terletak di bagian kecil benua Afrika yang memiliki kultur Arab.

Pada dini masa jabatan, keresahan mendekapnya: prestasi anak didik menurun drastis. Maka, keresahan ini pun akhirnya menjadi tema pokok dalam acara rutin, Lokakarya. Ratusan stakeholders hadir, lalu muncullah konsensus-konsensus yang berupa kebijakan-kebijakan.

Apapun bentuk kebijakan tersebut, prestasi ialah bagian penting dari pendidikan. Namun, tidak kalah penting untuk menganalisa elemen-elemen pembentuk prestasi. Dan lebih penting lagi bersikap arif menilai unsur-unsur yang mempengaruhi spirit prestatif anak didik. Sehingga kebijakan-kebijakan tersebut tidak rentan—terhindar, dari penilaian peyoratif: kebijakan prematur!

Memandang kampong ‘sempalan’ ini, ada sebuah tuntutan untuk memposisikan mahasiswa sebagai subyek utuh. Mahasiswa yang memiliki nalar kreatif guna mencipta ‘anak obyek’ yang rigid dengan aplikasi-aplikasi ‘beraturan’. Maka, ada 2 titik nadi yang mesti tersentuh, sebelum masuk pada tahap perumusan-perumusan. Pertama: nalar kreatif, beserta unsur-unsur pembentuknya. Kedua: aplikasi-aplikasi yang tidak lepas-sinergis dengan kompleksitas sosio yang membantu mengontrolnya; mungkin berupa birokrasi-struktural, atau prinsip-prinsip privatif masing-masing individu.

Tak dinyana, kemungkinan kedua-lah yang disinyalir kuat telah banyak menopang kualitas pendidikan masyarakat kampong ‘sempalan’. Prinsip-prinsip privatif individu muncul sebagai reaksi positif atas format administrasi-struktural Universitas yang samasekali Arab(is). Maka tidak heran jika ada perbedaan definitif atas prestasi, antara Ir. Dalfachir dan masyarakat kampong ‘sempalan’. Karena bukan mustahil yang pertama memandang prestasi dari sudut pandang, ia (prestasi-red) sebagai bagian dari proyek birokrasi. Sementara yang kedua memandang prestasi sebagai keharusan-kompetetif. Terlepas dari adanya keterkaitan dengan prestatif menurut kacamata pendidikan struktural-birokratis ataupun tidak, yang jelas kurang etis jika menilai fenomena keterpurukan prestasi ini hanya dari satu sudut pandang. Apalagi bersesumbar dengan sedikit politis: “ini dunia proyek!”. Ironis![]

Seja o primeiro a comentar

Post a Comment

Followers

Catatan Gila © 2008 Template by Dicas Blogger.

TOPO