Wednesday 13 May 2009

Stigma

Ia adalah korban stigma. Oleh karena itu ia murung, barangkali tengah menimbang: menerima, atau acuh (?). Karena ada tuntutan ‘berat’ ketika ia harus mengambil kemungkinan ketiga, menentang: ia harus melakukan diagnosa ulang, atau membuang anggapan, atau bahkan realita cacat itu.

Lili berangkat ke Kairo oleh karena tuntutan pragmatis sama sekali: ekonomi. Gilang, anak semata wayangnya, harus tetap hidup normal: sekolah, sekaligus tidak terpinggirkan dari masa mudanya yang ‘indah’. 4 tahun lalu Lili mengajukan khulu’ pada sang suami. “Bu, dengan mata kepala saya sendiri saya melihat Bapak selingkuh,” demikian kata-tegas Gilang mencabik kepercayaan Lili, pada sang suami, yang telah limbung sejak beberapa bulan sebelumnya.

Perceraian adalah aib. Mungkin ia menjadi sebentuk bukti bahwa wanita memiliki hak, dan bahwa perempuan pun memiliki kewajiban yang sama dengan lelaki: membela tegas atas hak-haknya. Kepatuhan terhadap suami ialah etika inter-relasi dalam memangku-melaksanakan kewajiban, dan menerima tulus atas hak masing-masing. Maka, ada semacam paradoksi makna perceraian: wujud ketegasan wanita, atau ketidaksanggupan masing keduanya dalam memahami hak dan kewajiban (?).

Bukan hanya karena kewajiban, cinta Lili harus mampu membebaskan anak semata wayang itu dari realita sadis-ironis yang mungkin menyudutkan psikologinya. Gilang harus hidup normal, pikir Lili matang, ‘saya harus bisa menyingkirkan kenyataan ‘gila’ itu dari memori Gilang!’. Maka, Lili berangkat ke Kairo, menjadi Tenaga Kerja, karena pengorbanan dan kerja keras sekalipun harus dengan pertimbangan yang sempurna. Sekarang ini jihad serta ibadah bagi perempuan, menurutnya, bukan sekedar ketabahan dan kesabaran. Tapi ia harus kreatif dan berani mengambil resiko, karena Gilang butuh untuk harus hidup normal, dan tanpa cacat mental.

Kini ia tinggal pada sebuah flat di kawasan distrik 10 kota Kairo, di tepian gurun. Satu minggu ia habiskan waktu di daerah Downtown. Sebagai ‘rewang’, ia memiliki hanya 2 hari libur; Jum’at dan Sabtu. Dan ia mendapatkan uang sebesar 450 Dollar setiap bulan untuk uang upah. Ah, Lili tak lagi asing dengan Dollar: istilah kurs pun telah cepat ia kuasai. Katakanlah 100 Dollar setara dengan jumlah Le. 500, Lili tidak perlu berfikir lama untuk menentukan jumlah dalam satuan Rupiah; cukup melipatkannya, Rp 2000 x 500. ¼ dari upah satu bulan Lili hampir sama dengan gaji bulanan PNS di Indonesia sana.

Menjadi ‘rewang’ ialah profesi baru bagi Lili. Tidak hanya patuh, Janda berumur 27 tahun itu acapkali harus memaksakan ketulusan dalam menjalankan segala bentuk perintah Sang majikan. Bagi saya ini penting: bukan hanya subtansi kalimat, nada, sintaksis, intonasi, akan turut membentuk makna sebuah perintah. Khususnya kesan. Lili tidak pernah mengerti perihal perbudakan yang sudah berabad silam dikecam oleh dunia. Meski begitu, ia dapat merasakan betul adanya dialektika keji yang menempatkan ‘rewang’ sebagai obyek, sementara majikan sebagai subyek yang memiliki kuasa absolut. Lili tidak peduli, mungkin ia akan memahaminya sebagai tuntutan profesionalisme kerja.

Ia adalah korban stigma. Dunia TK ialah dunia hura-hura, tidak lelaki tidak perempuan, dunia yang perlu bingar, demikian Lili mendengar entah dari siapa. Mungkin saja itu ungkapan mencibir, atau sesumbar insan oportunis (?). Lili tidak berani memastikan. Karena dua-duanya ada: sebagian merasa enggan, malu, sinis, atau emoh dekat dengan TK, ada pula dari bagian tersebut yang turut-numpang berfoya.

Terlepas dari benar tidaknya apa yang didengar oleh Lili, potensi munculnya anggapan negatif itu sangat besar. Sama besarnya dengan kemungkinan adanya tradisi ‘pasar bebas’ dalam dunia mereka. Bagaimana tidak?! Sudah menjadi semacam fitrah manusia ialah, ia akan lebih senang berada di atas; yang memberi; mulia. Maka, menjadi penting untuk memperhatikan betul apa bentuk kerja para TK(w/i); baik legal, dan terlebih yang dikarenakan oleh alasan semisal Lili, ibunda Gilang.

Lili bukan perempuan agamis. Perempuan Bumiayu kelahiran 1982 itu pun tidak pernah mendengar sejarah perjuangan Karlmarx. Namun, ia dapat merasakan bahwa perbudakan, dalam bentuknya yang paling sederhana sekalipun, tidaklah baik.

Seleksi alam terjadi begitu natural, dan menyudutkan mereka. Namun, stigma muncul secara disengaja, dan dengan begitu tentu lebih menyakitkan. Dengan lebih santun, sebagian menyebutnya ‘dosa, atau konsekuesi sosial’.

Lili adalah korban stigma. Oleh karena itu ia murung, barangkali tengah menimbang: ada berapa Lili di seluruh dunia ini, dan sampai kapan ‘pasar bebas’ itu akan terus tumbuh? Sebuah kewajaran jika mereka memiliki prinsip: ‘Pandai-pandailah menghibur diri meski dalam keterasingan”.


Seja o primeiro a comentar

Post a Comment

Followers

Catatan Gila © 2008 Template by Dicas Blogger.

TOPO