Saturday 14 March 2009

Edisi II Kata

Membingungkan, begitu kesanmu.
Proses transformasi makna memang tidak selalu mudah. Terlebih kala makna yang dimaksud berada ditengah jejaring kata (tertulis). Paling tidak tulisan tersebut telah terpisah dengan si empunya, dan berada utuh dipangkuan sang Pembaca. Maka, tulisan akan murni sebagai jalinan-jalinan yang –tentunya—terpaku pada kaidah linguistik. Kaidah yang kemudian menjadi piranti dalam memahami pesan. Sang penulis telah berada di luar ruang dialektika antara tulisan dan sang Pembaca.

Konon ‘dialektika’ ini telah ada beberapa abad lalu. Terangnya, ada semacam otoritas yang masih diragukan; milik pembaca, atau kuasa sang Pengucap. Misal, dalam diskursus Turas, al-Qur’an, dan Hadis: al-Thabarî berasumsi, Nabi adalah pemegang otoritas tunggal dalam interpretasi al-Qur’an. Kitab suci Kristen, Bibel, pun mengalami hal yang sama. Tentu karena Sang Pengucap masing-masing kitab di atas ada di alam pesan ke-Tuhan- meta. Atau, sang Rasul yang secara sengaja ditugaskan sebagai penyampai an, telah wafat.

Namun, dalam setiap lapukan sejarah literatur akan selalu ditemukan semacam Mansius. Sosok yang teguh ini pernah mengisi sejarah filsafat Konfusiusisme Cina: ia seorang literalis; lebih memilih untuk menghafal seluruh ajaran dan pemikiran sang pendiri, Konfusius, daripada melakukan interpretasi dengan cara menyerap spirit teks ajaran. Dan yang terakhir ini kemudian diambil oleh Hsuntse dan Yangtse sebagai sebuah cara baca yang ia sebut dengan, ‘metode analitis’.

Proses transformasi makna memang tidak selalu mudah. Seolah telah menjadi tabiat kata; jalin-rangkai abjad yang kemudian tersatukan dalam kata tersebut membatasi makna. Segala pesan yang telah menggumpal dalam hati, suatu kali hanya terwakili oleh kata yang sangat singkat. ‘Aku sayang padamu’, kataku misalnya. Maka, akan sangat berbeda jika kita mendengar bagaimana Once menyatakan maksud yang sama dengan sebuah lagu, ‘Dealova’. Terlebih bahwa bait-bait lagu tersebut kemudian diiringi oleh semacam aransemen, dan dilagukan dengan tangga nada. Contoh lain adalah kasidah ‘Burdah’ yang acap dilenggamkan di surau-surau desa: betapa sang penulis, Syeikh al-Bushairî, dengan seluruh daya upaya menciptakan ratusan bait hanya untuk menyampaikan pesan cinta terhadap sang Rasul.

Tentu hal ini bukan sekedar gaya, atau karakter. Karena masing-masing akan memiliki caranya dalam menyampaikan kata hati. Seorang debator mesti merasa terancam jika harus ‘bertele’ dalam pengucapan. Ia akan lebih nyaman dengan diksi seorang orator: singkat, retoris, padat, tegar, îjaz—dalam istilah sastra lingustik Arab. Layaknya seorang debator dan orator yang gagah dan tegas di atas panggung, pun penyair atau pujangga yang tengah berada di padang cinta; ia akan lebih mungkin memilih diksi panjang, imajinatif, ithnâb—dalam istilah sastra linguistik Arab. Karena ia sedang berada dalam ruang yang seakan tidak memiliki batas; ia tengah menikmati semacam kebebasan, dan benar-benar bebas; di sekitarnya ada jutaan diksi yang mungkin ia pilih, dan ia bebas bahkan untuk menggunakan seluruhnya.

Seolah denting yang kau perdengarkan
Maka semacam getar meretas
Tanpa nada menentu
Ia liar memecah segala kesunyian
Dan ramai pun gagap

Demikian petikan kataku.

Masing-masing akan memiliki caranya dalam menyampaikan kata hati. Tentu ada semacam kebebasan yang menjadi pesona sang penulis atau pengucap. Namun begitu, sang pembaca atau sang pendengar, akan selalu mendapatkan kuasanya; ia bebas memberi makna.[]

Seja o primeiro a comentar

Post a Comment

Followers

Catatan Gila © 2008 Template by Dicas Blogger.

TOPO