Saturday 14 March 2009

Lembaran I

“...sesekali perlu untukku merindukan seperti; hamparan sawah; padi yang menguning; dan tanah sawah yang bercelah pada musim kemarau. Lingkungan yang telah membesarkanku.”
--Jaka Edan--

Aku tidak membenci saat ia tak pintar menyembunyikan kebohongan. Aku hanya tidak suka dengan segala kepura-puraan. Bahkan ia boleh saja mengambil sikap yang sama: “silahkan!”. Aku puas jika tiba-tiba ia muak dan meragukan semua yang pernah kukatakan. Dengan begitu aku bisa menikmati bola matanya yang membesar, kedua pipinya yang memerah, bibir mungilnya yang seketika berubah: lonjong, manyun, atau mengatup sama sekali. Bukan hanya itu, ia boleh saja jijik lalu melontarkan cacian: boleh jadi kata-kata kotor sekalipun.

Aku lebih nyaman saat harus mengaguminya tanpa bersandar pada naluri kejantanan. “Tentu kamu tidak menyukai lelaki impoten,” pikirku. Dan aku mengenalnya sama seperti perempuan yang lain: perempuan yang tidak pernah menerima pujian dari perempuan lain sebagai sebuah ungkapan kekaguman seutuhnya. Bahkan untuk hal satu ini, perempuan merasa perlu akan adanya persahabatan intim.

Sesekali aku pernah mengatakan pada kawan karib, Bajul namanya, saat ia bertanya tentang perempuan: “ aku lebih menyukai perempuan dengan rambut tergerai, agak panjang, semampai, betis yang tak begitu besar sehingga aku bisa tahu bahwa pinggulnya betul-betul berisi.” Dan di kali yang lain aku juga pernah mengatakan bahwa aku mengagumi perempuan berbibir tipis dan merah. Tidak pernah sama sekali hal ini kukatakan padanya: tentang fisik, tentu perempuan lebih menyukai ungkapan metaforis. Dan dengan kata-kata yang sedikit hiperbolis, bahkan perempuan akan tersudutkan: menampik dan menganggapnya rayuan, atau secara diam-diam mendamba rayuan itu untuk kembali difikirkan. Tentu tidak semua perempuan.

“Kau lebih banyak termenung, apa yang sedang kau fikirkan?”
“Yang jelas bukan memikirkanmu.” Tandasku, lalu tertawa.
“Bangsat!” Bajul tertawa dengan raut sedikit malu. “Bilang saja kalau kamu sedang mengagumi perempuan itu.”
“Ah, siapa lagi? Kapan kamu lihat aku bertemu dengannya?”
“Tidak perlu,” ia mulai memaksa, “melalui apa yang kamu dengar tentangnya, mungkin kamu telah memilikinya dengan utuh.”

“Anjing!” batinku. Kini ia benar-benar sedang mempermainkanku.

“Saya kenal dekat dengannya kok. Kamu cukup mengiyakan, dan tidak terlalu sulit bagiku jika harus..”

Aku tak lebih dari seekor jengkerik malang dalam sangkar yang telah ia bikin. Dengan mudahnya ia kini menggelitik, memancing amarah, mencemooh, dan bahkan dengan riang mengadu perasaan dengan kelelakianku.

“Saya belum berfikir sejauh itu,” aku terpancing, “tentu saya perlu keyakinan, atau kelak mungkin menyesal.”
Ia hanya tersenyum simpul: itu aku ketahui dari desis nafas yang mengiring senyumnya. Teras kost gelap. Sekalipun lampu dinyalakan, pasti saya akan muak melihat mimik wajahnya, atau aku akan berpaling agar tidak pernah melihatnya. Namun begitu, aku mempercayainya. Bahkan lebih dari beberapa pasang telinga yang kaku merias tubuh-tubuh yang tak lagi sadar itu. Memang kekhawatiran muncul kala sesekali kulihat salah satu dari mereka menggeliat. Dan aku langsung mengambil sikap; diam. Saat ini aku benar-benar menikmati kedunguan. Situasi yang mestinya aku benci.

Dini hari semakin sepi. Ia berdiri, melangkah dengan penuh kehati-hatian menuju arah membelakangi: ruang dalam asrama. Sesekali ia perlu melompati deretan tubuh yang telah lelap. Satu detik kemudian, tiada suara, hanya desir udara dini yang menghempas pelan rimbun beringin di depan sana. Hanya beberapa meter dari tempat dimana aku menatap sinis rembulan yang tergantung penuh kesombongan. Langit bening. Gumpalan-gumpalan awan berjalan runtun, tapi penuh keacuhan. Bayangan perempuan itu terus hadir: “ini sebuah kewajaran, atau ujian, atau bahkan ilustrasi setan?” pikiranku galau.

Kini Aku berada di sudut kamar. Duduk bersila menikmati sebatang rokok dengan penuh kekhawatiran. Sekaligus memberikan kenikmatan yang tidak akan kutemu di saat lain: Setiap hisapan memberikan arti kemenangan, lalu kesepuhkan asap dengan penuh bangga, lalu kusembunyikan lagi, ketakutan muncul, lalu sedikit mengikis, kemudian kuhisap lagi. Begitu seterusnya hingga hisapan terakhir. Jam menunjukan pukul 03.00. Bayangan itu kembali datang: wajahnya bersih, gigi yang tertata rapi, alis yang tebal, matanya tajam dengan titik hitam yang pekat, bentuk wajahnya oval. Lebih dari itu, aku tak bisa melihat lagi, kabur. Kemudian aku mulai menuliskan kekaburan-kekaburan itu dan mencoba membentuk diri-nya secara utuh. Tentu dengan mengumpulkan serpihan kata—tentangnya—yang pernah kudengar dari kawan, atau siapapun.

“Tidak tidur kah?”

Aku tidak langsung menjawab. Sisa puntung rokok yang kubidas pada asbak kecil itu masih menyisakan asap, dan bau apek; Lupa tak memberikan sedikit air pada potongan kaleng itu. Aku gugup.

“Saya sudah tidur sedari jam 11.00 tadi. Eh, mana korek apinya?”

Ia ulurkan. Seperti telah ada kesepakatan: korek api sama sekali bukan simbol keangkuhan. Meski selalu memilih yang ber-merk untuk menghindari kecerobohan, atau membuat segan setiap peminjam. Tentu tetap tidak akan sebanding dengan sebatang korek mainan anak gang remang, dimana lahapan api yang pelan dan menimbulkan retakan lirih itu memiliki nilai tukar tinggi. Bahkan di setiap incinya ialah obsesi, asa, birahi, kepuasan. Bayangkan kala mereka harus jongkok, lalu menungging, menyingkap rok perempuan: galau, malu, penasaran, perasaan mereka tercabik oleh gejolak. Kemudian mereka akan melihat ‘segalanya’ dalam durasi yang sama panjang dengan sebatang kayu korek. Pada saat-saat seperti inilah sebatang kayu korek menuai kekudusannya. Maka, tidak menutup kemungkinan mereka menemukan ejakulasinya masing-masing; sebuah kebanggaan dimana kejantanannya terbukti. Lalu, dengan penuh keikhlasan selembar uang ribuan mereka ulurkan.

Beberapa tahun kemudian aku tahu bahwa mereka hanya memiliki ketakutan-ketakutan, kegetiran-kegetiran, kekecewaan. Keinginan, keusilan, dan laku mereka diamati oleh ancaman, perisai negara, undang-undang. Dan pada dasawarsa yang sama, masyarakat pribumi bisa melihat melalui televisi-televisi: keimanan, moralitas, dengan sengaja dibentuk dengan segala yang menakutkan. Melalui film-film, mereka dapat menyaksikan seekor ular raksasa melahap Si sombong; ribuan kalajengking menyengat, dan memenuhi liang kubur Si kikir; bara neraka membakar hangus Si jahil; atau wabah menjijikan menimpa Sang koruptor. “Busuk!” batinku.

“Ada keinginan untuk tidak pulang, toh ini liburan terakhir.”
“Rencana kuliah dimana?” singkatnya dengan nada serius. Sempat kutangkap betapa ia menikmati hisapan rokok, sembari memainkan kepul asap dari mulut.
“Baru sebatas keinginan,”

Kuletakkan pena dan buku Harian, berdiri untuk mengambil sebatang rokok pada saku celana pendek di balik sarung. Kusulut, kemudian sudut ruang berukuran 4x6 meter ini berubah laiknya penuh mistis. Sinar lilin yang telah memadu dengan gumpalan asap melahirkan dua bayang hitam, besar, dan melekat pada dinding yang remang. Tak kalah pengap dengan kamar Pierre, suami Eve, yang dilukiskan oleh Jean-Paul-Sartre dalam kumpulan cerpen bertajuk “Dinding”. Kamu boleh saja menghina, mencerca, mengutuk, dan menasehatiku yang—mungkin—kau anggap tak lagi ingat akan pesan orang tua. Dan aku akan memutar memori, mendengar kembali Bapak yang pernah berkata: “kamu sudah cukup umur, tahu mana yang baik dan mana yang buruk.”. Atau kamu akan menganggapku sedang berada pada alam yang aku miliki sendiri. Dan kamu tidak harus tertawan dalam kebencian-kebencian yang merongrong.

“Aku ada keinginan untuk melanjutkan di universitas ternama, mengambil fakultas Sosial-politik, tapi mungkin 2 tahun mendatang.”

Kutemukan seakan diriku sedang membual, bermain dengan khayal, memikul keinginan dan menaruhnya pada alam imajinasi, tercapai, lalu puas. Sementara aku sadari bahwa ada semacam Aphesia dalam ingatanku. Terlampau sulit bagiku mengingat nama; orang, jalan, atau bahkan bukan hanya itu.

Aku tertawa ringan.

“Kemana dalam 2 tahun itu?”
Aku tidak menjawab, “kamu sendiri, apa rencanamu?”
“Tidak muluk, ujung-ujungnya juga fakultas yang berbau agama,” singkatnya sembari melirik ragu, seakan memberi alasan dalam bahasa isyarat, “ eh iya, bagaimana dengan dia?”

Kawan berdarah Madura dan berpostur tinggi kurus itu beranjak mengambil posisi, terlentang, menutupkan sarung pada muka yang tak sempat cengar. Kebiasaan yang sungguh lucu, namun menjengkelkan: tidur terlentang dengan hanya mengenakan sarung, tak lebih dari itu. Ia tidak sungguh bertanya, tak lebih hanya menyindir. Mungkin hanya ingin menabuh emosiku. “Asu!” tandasku kencang sambil menendangnya. Ia terpingkal sekejap, lalu lelap.

03.45.
Kucoba mengambil celah sempit di antara deretan kawan yang telah pulas, merebah, kedua mata masih nanar, dan pedih. 15 menit, atau kurang lebih 30 menit kemudian akan ada ketukan pintu bertalu. Lalu dalam jeda yang tak lama suara itu akan berubah menjadi irama: entah dengan nada jengkel, marah, atau sayang?. Dan aku akan terbangun sedetik setelah suara itu begitu dekat, seutas penjalin dengan panjang setengan meter itu mengena keras tepat di paha. “Anjrit!!” pekik batinku. Ia tersenyum ramah, lalu melewatiku. Dalam keadaan duduk, kepalaku menunduk, kembali terlelap. Sebentar kemudian, lenggam lantun surat Yâsin terdengar samar: ia telah kembali.

***

Asrama riuh. Terdengar dari kamar mandi, celoteh kawan menimbulkan suara-suara yang sama sekali tidak teratur: intonasi yang kadang melengking keras, kuat, lalu melemah, lirih, dan henyap. Dan dari pusat pemandian pesantren yang berada tepat, dan membujur di samping kiri asrama, terdengar riuh sesak. Liburan tiba.

Aku putuskan untuk pulang.

Tanpa harus menunjukan surat izin, hanya perlu tersenyum ramah sembari sedikit membungkuk memberi salam, kini dengan tenangnya aku telah berada di atas sebuah becak. Melewati pos jaga pintu utama. Menikmati seperti kebebasan. Dinding pembatas yang tinggi itu bukan jejaring jeruji besi yang memenjaraku. Bukan karena saking mudahnya menyelinap: hanya perlu pengalaman sedikit, dan kepura-puraan. Sudah aku tuturkan, bahkan berdiri di atas kursi di halaman pesantren dengan disaksikan ratusan pasang mata lebih aku sukai.

Ah, hamparan tembakau itu, tiga tahun lalu masih setinggi jengkal. Dengan mata sendu aku mengamatinya begitu asing. 1 Km pada arah berlawanan, ratusan perahu nelayan tertata rapi menanti petang. Sekarang ini telah terbiasa dan menyatu, sehingga sesekali perlu untukku merindukan seperti; hamparan sawah; padi yang menguning; dan tanah sawah yang bercelah pada musim kemarau. Lingkungan yang telah membesarkanku. Halte di depan sana semakin dekat, lalu aku akan menunggu bus untuk kemudian menuju terminal kota Tapal Kuda, Surabaya, Surakarta, Jogjakarta, lalu 2 jam kemudian... sampailah!.

Sebelum Halte itu menjadi saksi kebosanan, sebelum lalu-lalang kendaraan memadati seruang imaji, sebelum kedua mata pedih dan terik kian menghantam, perlu kutuliskan tentang bayangan-bayangan yang menggelayut itu:

Sedari dini dimana aku tertidur, dan kemudian seutas penjalin membangunkanku, sama sekali tak kutangkap bayang itu secara sempurna. Aku tidak mendapatkan diri-nya secara utuh. Akhirnya tiada alasan untuk menampik ejekan, tertawaan, dan berbagai sindiran; aku gila. Dengan sengaja aku melewatkan pertanyaan-pertanyaan seperti: apakah aku sedang jatuh cinta? Kenapa aku harus mencintai? Apa yang membuatku harus mencintai?. Ia datang seakan bidadari malam yang menjadi ratu di ruang imajinasi. Dan aku terus meriasnya dengan ‘apa yang aku dengar’: tentang raut muka, bentuk tubuh, sifat, dan segala tentangnya; memperindah, dan seolah mencuatkan apa yang aku sebut sebagai dogma. Lalu aku mencintainya. Namanya terus mendengung seperti ilham, atau bahkan wahyu yang serta-merta segera kuyakini. Ia tak ubahnya bisik orang tua tentang Tuhan, yang lalu kuyakini tanpa alasan, kemudian aku hidup beragama, dan mungkin tanpa kesadaran. Ia begitu kuat, dan terus menari di tengkuk leherku.

Aku tidak mengerti suatu apa tentang perempuan. Pernah aku mendengar bahwa perempuan ialah makhluk yang penuh dengan keunikan. Namun begitu, tak jarang kutemukan perempuan adalah golongan yang banyak tertindas. Orang lain bilang: “perempuan adalah kaum lemah.”, tapi pada abad 19, di Amerika, kaum perempuan sempat menggemparkan. Yang lain lagi beranggapan bahwa perempuan adalah setan, tapi dari rahim pula lahir berjuta kesalehan. Si A pernah mengatakan; “perempuan adalah simbol kesucian.”, namun tak jarang vagina kaum hawa diperdagangkan. Dan bagiku, kau adalah perempuan, itu saja. kau begitu lentur sehingga menyelinap dalam ruang imaji. Kau begitu indah dan kuat, sehingga menarik ego, dan pada saat yang sama mematikan nalar pikirku.

Tak pernah kutuliskan waktu, saat, detik, dan kapan kau datang. Kau sama sekali datang dan menawan imaji tanpa memberi batas waktu kapan kan kau lepaskan. Seperti hanya ada kata ‘abadi’ dalam ruang dimana kau menjadi ratu. Sungguh seruang khayali yang tak kenal tautan waktu. Pun saat bibir tipismu bergerak, seakan ada kata wahyu yang kutangkap, dan segera kuimani. Maka aku biarkan semua ini tanpa titik sebermula. Kecuali kau akan mengakhiri dengan ‘hadir’ atau bahkan pergi sejauh mungkin; “ini bukan yang saya harapkan.”

Demikian tulisku pada lembar Diary. Entah pada lembar yang keberapa. Jelasnya, aku mengenal buku itu 1 tahun lalu. Ia seperti karib yang mengerti betul akan kejujuran, tanpa tendensi, ‘sebagai kawan yang berani kritis,’ kata seorang teman. Ah, aku belum lagi mengerti tentang tulis-menulis. Maka, hanya perlu kemauan untuk mengisi Diary bercorak hitam itu. Sederhana, kemauan. Dengan begitu aku tidak perlu berprasangka bahwa apa yang aku lakukan telah menabrak kode etik kepenulisan. Kejujuran, tendensi, baru kudengar beberapa bulan kemudian. Dan sebelumnya, kejujuran tak lebih dari sebatas referensi. Demikian aku memahaminya.

Di atas sebuah bus.

Ada semacam kebahagiaan merona; terlepas dari segala aturan. Jeruji, demikian kawan-kawan mengumpamakan segala aturan. Dengan begitu, hidup dalam aturan seakan hidup sebagai tawanan. Sedang kini bus melaju, dan aku bebas menatap segala yang ada. Mungkin aku akan tidur hingga bus berhenti, atau apa pun. Biarlah aku menikmati segala yang ada dengan kehendak, dengan begitu aku akan mencipta dunia. Ya, duniaku sendiri.

Aku sedang tidak ingin memberi nama atas dunia yang baru saja kucipta. Namun, akan kukenalkan padamu seseorang:

Wulan namanya. Ia lahir pada tahun 1986. Tepatnya pada tanggal 13 Oktober. Aku masih ragu untuk memastikan bahwa ia lahir di kala senja, sesuai nama lengkap yang ia miliki: Wulan Kala Senja. Ada semacam bias merah yang menggenangi bibir tipisnya; airmukanya tidak sayu; sorot matanya sejuk. Ia adalah perempuan jawa, tidak terhitung tinggi. Namun begitu, ia lebih jenjang jika dibandingkan dengan sinden Jaipong yang nampak pendek dengan kebaya yang mengatup tubuh sintalnya. Wulan yang pada kemudian hari kukenang.

Aku belum lagi mengenalnya utuh. Pada masa itu, aku tentu memahami bahwa yang dimaksud dengan ‘utuh’ ialah mengenal beserta latar belakang, dan apa yang berada pada kisaran hidupnya: ayah, ibu, keluarga, adat, tradisi, dll. Hal yang teramat menjemukan bagiku. Dan aku tetap ingin mengenalnya sebagai Wulan Kala Senja, sebagai perempuan, sebagai manusia yang memiliki entitas dan kebebasan.

Kini aku benar-benar p-u-l-a-n-g. Dan aku tengah menanti senja.

Bersambung...

Seja o primeiro a comentar

Post a Comment

Followers

Catatan Gila © 2008 Template by Dicas Blogger.

TOPO