Persaksian
(Bachelard)
15 tahun selepas al-Ghazali mangkat, Abu al-Walid (1126 M) masih seorang bayi. Bayi kecil yang ditimang sisa keriuhan “The Golden Age of Islam”. Abu al-Walid kecil turut menyaksi ketegaran benteng Granada menjaga Spanyol. Di Timur, mercusuar-mercusuar Baghdad masih tegak memancarkan pendar keemasan. “Inilah kegagahan Arab-Islam”, demikian sejarah memahatkan sabdanya.
Kelak, Abu al-Walid sadar, panorama itu adalah dilema. Ia serupa kutukan yang mewujud dalam perilaku takfîr. Kutukan yang menunjuk Yunani sebagai kambing hitam. Dalam kebenaran yang berlindung-padu di bawah kubah wahyu, takfîr menjelma kuasa tak terbantahkan. Mendaku kebenaran dalam sederet klaim.
Beberapa masa, klaim kebenaran bergeser menjadi pembelaan atas nilai-nilai positif yang diyakini. Meski pada saat yang sama memiliki sifat attractive. “‘Klaim’ bukan lagi wujud ‘determinasi dan keberanian’”, Foucault menuduh nyaring. Tapi, di sisi lain, kegagahan itu juga semisal berkah. Dari rahimnya, terlahir rasionalitas, filsafat, akal, dan kebebasan.
Generasi belakangan mengakrabinya dengan panggilan Ibn Rusyd. Ernest Renan menduga, kesadaran filosofisnya terpantik oleh pertanyaan penguasa Marrakesh yang dijumpainya berkat jasa Ibn Tufayl. “Sungguh malu dan hinanya diriku,” sesal batinnya. Saat itu, Abu Yusuf Ya’qub (1163-1184.M.) mencecarnya ihwal “filsafat Yunani dan Alam”. Maka, sosok yang memiliki simpati pada al-Ghazali ini memutuskan mendermakan waktunya guna mempelajari filsafat. Dia tenggelam dalam literatur filsafat. Beberapa akademisi, lantas menyematkan julukan “El Gran Comento” (Sang Pen-syarah) Aristoteles.
Dan nama harum Ibn Rusyd mulai merebak. Kepintarannya nampak menyala serupa Bintang Kejora. Dengan cerdas, Filsuf sekaligus Kadi ini mendamaikan perdebatan perihal ‘kebenaran’. Baginya, kebenaran adalah tunggal. Meski dari dua kutub yang diperlawankan; filsafat dan agama. Bagi dunia Barat (Maghrib), dia tentu lebih dari sekadar ‘matahari’.
Di Timur (Masyriq), minta mempertentangkan akal dengan wahyu menjelma sebagai ‘dosa’ usang berupa kebiadaban. Kebiadaban yang berputar di antara hukum, hakim, dan terhukum. Al-Ghazali, Sang Pembela Islam dengan sigap menarasikannya dalam Tahâfut al-Falâsifah. Berdasar kuasa agama, dia mencerca, menista dan mengkafirkan filsafat. Dia kabur dari jalan filsafat menuju lorong lain berupa tasawuf. Dia bersikeras mendakwa filsafat takkan mengantarkan pada kebenaran.
Dan filsafat di Timur seperti tergorok urat lehernya. Mati terlindas sabda langit. Al-Jabiri mencoba menjelaskan motif keputusan aneh al-Ghazali itu. Dalam salah satu tetraloginya, Takwîn al-Aql al-‘Arabi, dia menduga Masyriq belum siap ‘berkawan’ dengan konstruk nalar yang berbeda. Nalar Timur cenderung tak berdaya di hadapan teks. Beda di Yunani sana. Yang memilukan, Sang Hujjat al-Islam ini tengah mengabdi pada dinasti Seljuk yang gerah dengan filsafat.
Dan purnalah al-Ghazali dengan segenap mitos dan eposnya.
Menyorot nalar memang dilematis. Ia jelas berjenjang; tak sama antara satu peradaban dengan yang lainnya. Ada ‘kelas-kelas’ dikotomis yang mustahil ditiadakan. Meski mendaku dalam ketunggalan rumpun. Penyokong mazhab Aristotelian paham benar konsekuensi itu. Dan keberjenjangan itu meletupkan kecurigaan dan sinisme. Pengagum nalar burhânî, bayânî, atau, pun ‘irfanî, tersekat dalam dunia sempit masing-masing. Yang tersisa adalah trauma.
Tentu peradaban tak pernah meminta sesuatu yang disebut sebagai “kesalahpahaman” selamanya akan menjadi trauma sejarah. Sebab ia hanya penghalang. Ia serupa tabir bagi “kontinuitas” keilmuan. Yang pasti akan menjadi hijab bagi jalan menuju kebenaran.
Maka, sejarah akan tetap berjalan. Meninggalkan luka, trauma dan membawa sebias cahaya. Atau sembari menjinjing kecemasan jaman. Kecemasan yang mewujud dalam akal yang terpasung fanatisme. Nalar yang dicekam kekhawatiran hanya akan menunjuk proses kritis-kreatif sebagai sebentuk heretik. Inilah kecemasan panjang kaum Muslim.Dan di Barat sana, proses kritis-kreatif terus disemai.
Ini mengapa, kaum Muslim mesti sudi merapal mantra Bachelard bernama “hambatan epistemologi”. Bagi filsuf Prancis abad 19 ini, ‘hambatan’ adalah keadaan dimana manusia “buta” terhadap kemungkinan-kemungkinan yang secara obyektif tersedia bagi ilmu pengetahuan. Jika demikian, kita tak boleh lagi membutakan diri. Sebab dengan daya kreatif dan nalar inovatif, Ibn Rusyd mampu mempersaudarakan filsafat dan agama. Menyandingkan akal dan wahyu.
Ibn Rusyd begitu atraktif berlogika dalam menguak tanda-tanda. Meski di lain waktu, dia tak menganggap sepi teks dan wahyu. Sesungguhnya, Ibnu Rusyd tengah menelusuri jalan al-Farabi, Sang El Segundo Maestro. Juga meneladani Ibn Sina. Ketiganya tak hanya menenggelamkan diri dalam ilmu keislaman. Mereka menghayati filsafat laiknya mengimani wahyu. Tak ada yang berat dengan menempuh laku sebagai hamba Tuhan dan agamawan sekaligus. Dan benar sabda mereka, tak ada permusuhan antara filsafat dengan langit.
Dan kelak, gagasan mereka yang mengkristal di tangan Averroes, Sang Penyulut Pencerahan ini dipahami sebagai “double truth” oleh Averroisme Latin. Gagasan besar yang sanggup meruntuhkan otoritarianisme gereja Eropa di abad ke 13.
Demikian masyarakat Barat mempersaksikan keagungan dan keabadian Averroes.[]
Post a Comment