Sunday 22 March 2009

Karya

Aku berdiri di atas sebongkah batu hitam, lapuk. Tampak jelas ada lapisan yang mengelupas, seperti kulit pohon jambu yang kering, mengeriput, dan esok ia halus seakan kulit bayi. Tidak sendiri, dan aku hanya mampu mengukur sebilah batu yang ada di bawah telapak kaki. Lebih satu senti dari itu, toh karena memang alas kaki yang kukenakan terlalu besar. Tepat di depan mata; tengkuk yang telah menghitam, basah, dan menawarkan bau yang sungguh tidak enak. Kanan, kiri, hanya ada ketiak-ketiak yang tentu lebih busuk baunya. Jangan tawarkan aku ke arah belakang, karena tentu akan ada umpatan yang sama. Hanya saja rambut kepala bagian belakang selalu kubiarkan memanjang.

Ada lirih denting membias dan menusuk gendang telinga, seperti ketukan tapi tak berjeda samasekali. Bukan lagu, tidak ada huruf yang kudengar jelas, bukan nyanyian. Kudengarkan betul, hampir jelas, tapi..ah, suara itu kembali samar; mungkin tercerap keringat busuk itu. Atau nada yang kudengar samar tengah membuatku galau, penasaran?
Aku tidak ingin menebak, atau apapun namanya, yang jelas semacam menarik masa depan dan ‘yang akan terjadi’ menuju ke masa sekarang, dan terjadi. Bukankah sederhana? Bayangkan kamu sedang menimang seonggok bayi, lalu jatuhkan, atau terserah, yang jelas lakukan apa yang mungkin membuat puas. Maka, tidak banyak pilihan; hanyut oleh senyum imut si bayi, atau kamu akan lebur dalam kepuasan itu. Dan begitu pula dengan tebakan.

Kini aku setengah tidak yakin, bimbang, penasaran tak lekas hempas. Seperti pedih, atau rasa berbunga oleh sebuah tebakan. Tidak, sekarang ini aku benar-benar merasakan debar, ya, dan bukan dalam ‘penantian’. Aku benar sedang mengalami, dan tidak ingin melewatkan. The universe will never look the same again, kata Einstein. Dan akan kucatat segalanya dalam otak: tengkuk berkeringat nan bau, aroma ketiak yang telah lebih dari sekedar busuk, dan bunyi samar itu. Bukan dengan angan yang muluk, melukiskan cerita untuk anak-cucu misalnya. Sepele; meyakinkan diri bahwa aku pernah ‘ada’, eksis.

Di atas sebongkah batu hitam, kampung ini bukan layaknya sekelompok ikan kirana yang beringas. Perlahan terus mengalir, setapak demi setapak, dan suara itu kembali muncul samar. Penasaran semakin kuat, tapi bau keringat membuatku ingin muntah. Sesekali aku harus bertanya; kenapa?. Di kali yang lain aku mengadu dan memohon. Lalu aku berfikir, tentang ‘ada’, kemudian tentang ‘asal’.

Kehidupan adalah ekspresi Sang Pencipta

Ekspresi, apakah semacam rona memerah yang timbul saat marah atau malu? Atau dalam gerak meringkuk, lucu, menggemaskan, atau bagaimanapun, seperti kucing betina dewasa dalam timang si empunya? Apa yang ditulis dalam ‘sejarah “wujud’ oleh al-Asymawi memberiku sebuah imajinasi; ‘kehidupan’ sebagai ekspresi yang wujud, mencuat dari muara kehendak Sang Pencipta. Ya, kehendak dan kuasa untuk mencipta. Maka, kehidupan—sebagai ekspresi—‘ada’; tercipta.

Bunyi muncul lebih jelas, hampir seperti simpul suara, namun belum lagi aku mampu mendikte huruf dan nadanya. Sekarang aku perlu untuk tengok kanan-kiri, mencari celah, menelusup dalam himpit, menyela, tapi mual tak tertahan. Hueek..! akhirnya aku muntahkan. Entah berapa pasang mata yang memicing, mengutukku, bukan tidak peduli, namun aku betul menikmati rona wajah mereka; marah, jijik, sinis, bahkan ada yang memukul, meludah, pun memegang penuh kasih, tak ubahnya kucing betina dewasa itu; lucu dan menggemaskan tatkala dalam timangan. Ingat, tatkala; semacam isyarat ke-se-mu-an, ada limitarisasi ruang dan waktu. Tidak beda dengan ekspresi mereka yang timbul oleh kehendak; baik dengan alasan, atau tanpa sebab sekalipun.

Al-asymawi mengerti betul tentang kehidupan; ekspresi Sang Pencipta. Perlu digaris bawahi kata ‘mengerti’, ini bukan hanya sebuah capaian-capaian agnostik, bukan sekedar ketundukan materialis-empiris. Namun ia bangkit, bergerak, merangkai, lalu bernafas dalam jeda, dan akan berlanjut. Putra negeri Seribu Menara ini faham betul akan adanya diferensiasi ‘lintas’ antara ‘Yang abadi’ dan batas kuasa ‘ekspresi’ yang merupakan bentuk kata verba finit. Dan ia tidak perlu jatuh terbungkam pada jurang ‘perebutan’ otoritas.

Eksistensi adalah ekspresi kehidupan
Kreasi adalah ekspresi eksistensi

Di sini terlihat tuntutan adanya gerak, upaya, karena eksistensi bukanlah partikel yang diam, mati. Ia memiliki ruang dan batas efloresentif-nya sendiri. Seperti tumbuhan, kupu-kupu, embrio, dan kucing betina itu.
Sang Pen-‘cipta’, ‘kreasi’, Ia begitu lihai dalam memilih diksi, tidak terjerembab dalam problema sintagmatis, meski ada sedikit singkope. Namun, ia lebih terlihat seakan seorang ahli logika yang tengah mansyuk dalam hitungan matematis sebuah preposisi.

Aku berdiri di atas sebongkah batu hitam, lapuk. Bukan sejenis batu ajaib seperti yang telah merenggut masa kecil Ponari, bukan batu apung yang mengambang dan ragu, bukan pula batu besar layaknya dalam cerita Yunani Kuno; Shisipus. Kini semuanya duduk bersila, membentuk semacam lingkaran nan lebar, dan bunyi itu telah terberai dalam huruf-huruf, lalu terajut dalam suara; seperti denting yang sangat kuat, atau lonceng wahyu yang sungguh menggetarkan. Batu ini seumpama padang Mahsyar, tempat dimana masing-masing menanti ucap bijak Sang Kuasa dan Maha Adil. Ia bukan lagi bagian dari semesta yang menjadi ruang kehidupan, karena masing-masing tengah limbung dan tak mampu lagi berekspresi.[]


Seja o primeiro a comentar

Post a Comment

Followers

Catatan Gila © 2008 Template by Dicas Blogger.

TOPO